25. The Truth Untold

32 4 0
                                    

Jika dilihat dari kejauhan, gadis itu tampak bisa saja dan tak ada yang aneh pada dirinya. Tapi entah kenapa, ketika Ben mulai mendekati Lea, gadis itu tampak berbeda dari gadis lain. Ben masih memerhatikan Lea yang tengah mencari barang-barang di minimarket. Ia menunggu Lea di luar.

Kepulan asap rokok yang mengepul ke udara sedikit menghangatkan mulut Ben ketika udara sudah mulai terasa dingin. Setelah Sholat Maghrib tadi, entah kenapa memang cuaca sedikit tidak mendukung.

"Yah, mumpung Lea sedang membeli kebutuhan keluarganya di minimarket. Sepertinya lebih baik aku merokok. Mungkin dia akan lama," pikir Ben.

Pemuda berusia 18 tahun itu mengisap rokok kemudian melepaskan puntung rokoknya kembali hingga mengeluarkan asap.

Tik tik tik

Sisa-sisa air yang terjatuh setelah hujan menemani Ben ketika ia tengah berteduh di salah satu rumah yang tak jauh dari minimarket. Sambil menunggu Lea keluar dari sana, Ben masih menghisap rokoknya, kemudian diembuskannya kembali setelah cukup memenuhi mulutnya.

Ben tenggelam dalam kenikmatan rasa manis rokok. Aroma rokok baginya begitu menenangkan. Apalagi ketika pikirannya kembali terusik akan masa lalu yang belum bisa terobati oleh apapun. Bahkan beribu lelucon tak akan mampu menghapus ingatan kelam ketika malam merenggut nyawa Lingga.

•••••

Yang terpampang jelas di depan Lea membuktikan bahwa Ben adalah seorang perokok berat. Entah kenapa pemuda itu menjadi seorang perokok, Lea tidak mengerti bagaimana alasannya. Jika dilihat dari usianya, Ben memang sudah berusia 18 tahun saat itu. Dan ia sudah legal jika mengonsumsi rokok. Tapi sangat disayangkan, memang. Apalagi, rokok memang tidak baik untuk kesehatan.

Sementara itu, Ben melihat Lea melangkah keluar dari minimarket, ia segera menjatuhkan rokoknya dan menginjak pucuknya agar apinya padam. "Lea sudah keluar," gumamnya. Buru-buru ia menjatuhkan puntung rokok itu.

"Kak Ben!" Lea menyapa dengan senyum tersungging.

"Hei, Lea. Sudah selesai, yah?" Ben membalas senyuman Lea.

Ben berdiri dengan tegap setelah bersandar cukup lama di tembok ruko, ruko itu terdapat banner yang menunjukkan bahwa itu adalah tempat fotokopi. Meraih belanjaan yang ada di tangan Lea.

"Terima kasih, Kak Ben," ucap Lea.

Ben membalas senyum Lea, "Iya, sama-sama."

Keduanya pergi dari sana sebelum terlalu malam. Mungkin saja, Kakek dan Kak Kinnas sudah menunggu mereka. Sementara Randu, dia sudah pulang setelah Sholat Maghrib tadi. Ayahnya menelpon bahwa Ibunya sudah pulang dari luar kota dan sangat merindukan Randu.

•••••

Di perjalanan pulang, keduanya hanya terdiam. Lea masih memikirkan bagaimana asap-asap rokok itu membumbung di depan wajah Ben. Kemudian ketika Ben melihat ia keluar dari minimarket, dengan buru-buru Ben menjatuhkan rokoknya dan segera menginjaknya. Kenapa Ben begitu takut jika Lea mengetahui bahwa dia adalah seorang perokok?

"Kak Ben ... merokok, yah?"

Ben terperanjat mendengar pertanyaan Lea. Ya sudahlah, memang sudah seharusnya Lea tahu akan hal itu. Kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Bahwa ia adalah seorang perokok berat, tapi ia merokok bukan tanpa alasan. Semenjak kematian Lingga, rokok sudah seperti obat penenang baginya.

"Iya, aku seorang perokok. Bahkan perokok berat ...." Ben menjawab dengan pasrah.

Ia mulai mengingat kembali ketika beberapa hari setelah Lingga dimakamkan.

Padahal saat itu, ia baru akan memasuki usia 17 tahun. Randu melakukan pertukaran pelajar dengan bantuan Ayahnya. Meskipun Randu bukan anak yang berprestasi, ia dapat menjalankan pertukaran pelajar. Ayahnya melakukan itu agar Randu dapat melupakan kejadian mengenai kematian Lingga. Sementara Ibu Ben, mencoba membawa Ben ke seorang psikolog. Setelah mengetahui putranya sering melamun sendirian, menangis dan bahkan mulai merokok diam-diam di kamarnya.

"Ben ...." Kala itu, Ibu memanggil Ben yang tak juga tak kunjung menyahuti. Dengan terpaksa, Ibu masuk ke dalam kamar dan mendapati Ben tengah menyakiti pergelangan tangannya dengan karet.

Ctass ctass

Terdengar begitu nyaring suara karet yang ia benturkan dengan pergelangan tangannya. Entah sudah berapa kali sehingga membuat tangannya memerah. Sambil bersandar pada tembok dengan tatapan mata yang kosong. Dan bergumam, "Lingga ... kau sungguh bodoh! Kau kedinginan, bodoh! Seharusnya kau memintaku untuk memelukmu, atau setidaknya ... aku akan menyalakan api unggun untukmu ...," gumamnya benar-benar melantur, diikuti suara tawa dan jeritan.

Ibu berlari dengan perasaan yang berkecamuk, menuju Ben dan memeluknya dengan erat. "Ben ... tenanglah, sayang ... Tuhan sudah memeluk Lingga dengan erat sehingga ia sudah hangat sekarang," ucap Ibu kala itu dengan suara yang bergetar dan air mata yang menetes penuh luka.

Ben mendongak ke arah wajah Ibu. Dengan mata sembap dan pipi yang sudah basah lantaran air mata tangis itu.

•••••

Setelah kejadian itu, Ibu Ben mulai mengawasi putranya. Mulai dari mengantarnya ke sekolah, hingga menjemputnya lagi ketika pulang. Tapi ada satu hari ketika ia jatuh sakit, Ben yang sudah terlihat baik-baik saja, meminta izin untuk berangkat ke sekolah sendiri.

Ben pergi ke jalanan besar setelah berpamit. Berjalan dan terus berjalan dan mengabaikan halte bus. Menuju ke arah jalan yang berbeda dengan arah sekolahnya. Gedung yang menjadi tempat terakhirnya melihat mata Lingga menatap ia untuk yang terakhir kali.

Ben naik lewat tangga darurat. Satu per satu tangga ia jajaki, dengan tatapan kosong dan perasaan hampa. Beserta rasa bersalahnya pada Lingga. Ben terus mengutuk dirinya sendiri yang tak pernah memahami tanda-tanda bahwa Lingga mengalami depresi.

"Maaf ... maafkan aku, Lingga. Andai waktu itu ... aku tahu bagaimana perasaanmu. Andai waktu itu, aku tahu bahwa kau sedang tidak baik-baik saja. Andai waktu itu, aku mengikutimu sepanjang hari, kau tidak akan jadi begini."

"Sekarang ... biarkan aku menemanimu. Bukankah kau pernah berkata padaku, bahwa kau membenci kesepian? Aku akan menemanimu ...."

Angin menerbangkan rambut Ben yang sudah sedikit gondrong. Seragam OSIS-nya juga ikut terdorong angin dan wajahnya tampak berseri seolah melihat wajah Lingga yang tersenyum ke arahnya seperti biasa ketika mereka bertemu.

•••••

Assalamualaikum, Pak Liam.

Wa'alaikum salam, Pak Untung

Yang tadi itu adalah Pak Untung, guru Geografi sekaligus wali kelas Ben kala itu.

Maaf, Pak. Apakah Ben tidak berangkat, hari ini?

Berangkat, Pak. Tadi saya melihat dia meninggalkan rumah memakai seragam dan membawa tasnya menuju jalan raya.

Sekarang Bapak ada di mana?

Saya sedang menjaga toko kelontong saya, Pak.

Tapi Ben tidak ada di kelasnya. Jadi saya pikir, Ben sakit.

Tiba-tiba saja, telepon dari pihak sekolah masuk ke ponselnya. Membuat Liam, lelaki itu segera mengangkatnya. Dan ketika tahu bahwa putranya tidak ada di sekolah, Liam segera menutup tokonya.

"Ke mana Ben pergi sebenarnya, Ya Allah?"

Dengan segala kepasrahan, Liam menutup tokonya. Ia tidak memedulikan apa-apa lagi selain keselamatan Ben. Ia mencoba menghubungi seluruh teman dan kerabatnya untuk menanyakan keberadaan Ben.

Published on October 22nd, 2022

Terlalu Malas Jatuh Cinta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang