Ada yang nungguin, nggak?
~𝙝𝙖𝙥𝙥𝙮 𝙧𝙚𝙖𝙙𝙞𝙣𝙜~
Hari yang cerah dimana hari pertama dari musim semi dimulai. Bunga-bunga bermekaran menciptakan aroma semerbak yang memanjakan indra penciuman. Suasananya yang teduh dan hangat menenangkan hati, pikiran, dan jiwa.
Jika saja tidak ada seseorang yang mengganggu kedamaian itu, mungkin surga yang sesungguhnya sudah ada di dunia. Apa boleh buat? Dunia persamaan dari neraka.
"Cuci!" Jake baru saja melempar keranjang berisi tumpukan kain di hadapan Minji yang sedang membersihkan debu di sudut lantai. Gadis itu tersentak, melirik keranjang tersebut kemudian mendongak memandang Jake.
"Maksudnya apa ya, Tuan?"
"Maksudnya apa maksudnya apa," beo Jake, mengejek. "Ya cuci!"
"H-ha? Tugas saya cuma mengurus rumah, saya tidak mencuci baju, apalagi—"
"Terus lo ngejawab!"
Alis Minji tertaut.
"Gue gak mau tahu, lo cuci baju-baju gue itu sebersih mungkin!"
"Kenapa harus saya? Itu tugas Bi Wendy," elak Minji, masih tidak mau diperlakukan semena-mena, dia tidak punya tanggung jawab di dalamnya.
"Lo denger ya." Dia menunjuk Minji. "Lo kerja di sini karna siapa? Karna Mama gue. Gak usah ngebantah dan cepat kerjain!" tunjuknya ke arah dapur.
Tangan Minji terkepal erat. Menjadi pembantu sama sekali tidak rendah jika memiliki harga diri. Minji seperti tidak memiliki itu lagi.
"Nunggu apa lagi?!"
Tidak ingin menimbun emosi, Minji menenteng keranjang itu, bangkit berdiri dan beranjak pergi. Baru tiga langkah, langkahnya terhenti.
"Jangan pake mesin cuci. Pake tangan lo sendiri."
Dia berbalik lagi. "Maksudnya?"
"Otak lo terbuat dari kapas? Gue bilang cuci pake tangan lo sendiri!"
"Jadi fungsinya mesin cuci besar-besar di rumah ini apa kalau nggak digunain?" Penuh keberanian Minji membalas perkataan Jake.
"Lo pikir baju-baju gue beli di pinggir pasar? Gue gak mau baju gue rusak karna dicuci pake mesin!"
"Kalau gitu dilaundry aja."
Jake semakin melotot. "Masih bisa ngejawab lo?!"
"Pakaian ini bertumpuk, Tuan. Kerjaan saya masih banyak. Kalau cuci tangan, bisa makan waktu dua jam. Saya masih harus bersihin kebun dan lainnya."
"Gue gak mau denger semua alesan lo itu. Sekarang yang gue mau, lo cuci baju gue pake tangan lo sendiri dan harus sebersih mungkin!"
Merasa sia-sia berbincang dengan makhluk keras kepala itu, Minji tidak punya pilihan selain menurutinya. Dia berbalik pergi menenteng keranjang tersebut. Dalam hati terus menyumpah-serapahi Jake, cowok menyebalkan minus otak yang tak memiliki perasaan. Lebih baik Minji mati kelaparan daripada melayaninya lagi, tapi karena bersangkutan dengan adiknya, dia menahannya. Semua ini untuk keselamatan adiknya. Andai saja Jake tidak ada, pasti semua akan berjalan mudah.
"Sini saya aja yang kerjain." Bi Wendy dari arah depan menjulurkan tangan meminta keranjang tersebut.
"Saya aja, Bi." Minji melewatinya begitu saja. Hatinya pernah hancur berkeping-keping. Selama hidup dia selalu menerima perlakuan kasar. Karna pendidikannya rendah. Karna tak memiliki orang tua. Dunia yang kejam membentuk dirinya menjadi gadis berhati batu. Minji tak merasakan apapun selain kecemasan terhadap adiknya. Semua rasa sakit itu tidak dia rasakan, hanya berbagai cara menghasilkan uang.
Gadis bercepol itu mengambil ember, deterjen, dan segala perlengkapan mencuci, dia pergi ke kamar mandi belakang yang dikhususkan untuk mencuci. Dia mulai membasuh tumpukan pakaian tersebut mengandalkan tenaganya yang tidak seberapa.
Tiba-tiba sebuah ide terlintas dalam benaknya. Senyum tipis terlengkung di bibirnya. Dia langsung bangkit, mengumpulkan semua baju ke dalam satu ember. Setelah meletak deterjen, dia memasukkan kedua kakinya ke dalam. Dengan tersenyum senang dia menginjak-injak pakaian itu.
"Anda liat gimana cemerlangnya ide saya nyelesain baju-baju ini, Yang Mulia Shim Jaeyoon," gumamnya sambil tertawa.
"Ya Tuhan, maksud lo apa?!" Bentakan dari lantai dua mengagetkan Minji. Dia mendongak, mendapati Jake berlari tergesa-gesa yang sepertinya ingin menghampirinya.
Minji sama sekali tak takut, malahan dia senang Jake melihat caranya melaksanakan tugas yang dia perintahkan. Minji terus menginjak-injak baju itu, sampai cowok itu muncul di hadapannya.
"LO GILA?!" Dia mendorong Minji sampai terjatuh ke lantai. Pandangannya menyorot ke ember tersebut, mengumbar ekspresi speechless dan tak percaya.
Dengan rasa tak bersalah, Minji mengibaskan cepolannya. Jake yang melihat langsung melayangkan gurat tajam. "Lo gila hah?! Gue nyuruh lo apa?!"
"Saya lagi nyuci baju anda, Tuan."
"Gue bilang pake tangan bukan kaki!" bentaknya.
"Untuk menghemat waktu, saya gunain otak cerdas saya."
"Otak cerdas?! Lo sadar apa yang lo lakuin? Lo injak-injak baju mahal gue!"
"Biar cepat." Gadis itu berdiri, hendak memasukkan kakinya lagi, Jake langsung mendorongnya.
"Gila ya lo!"
Minji mengerutkan dahi, gara-gara didorong lengannya tergores paku di sebelah keran. Dia balas menatap Jake dengan tak senang. "Tuan yang gila. Ini bukan pekerjaan saya, tapi Tuan nyuruh-nyuruh saya."
"Lo itu pembantu! Harus sadar di—"
"Saya sadar diri. Saya sadar pekerjaan saya. Tapi inget satu hal, sebelum tanda tangani kontrak, saya udah baca semua syarat dari atas ke bawah, nggak ada syarat yang mengharuskan saya menuruti semua perintah anda!"
Jake kehilangan kata namun tatapannya menyatakan semuanya. Nyalang. Bahwa dia teramat murka sekarang.
"Kalau Tuan mau bajunya dicuci pake tangan, ya udah, cuci aja sendiri." Dia beranjak pergi, meninggalkan Jake yang benar-benar kehabisan kata.
°°°
Jangan lupa vote dan dukungannya 🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
Dealova✓
FanfictionShim Jake, cowok jenius yang paling perfeksionis dalam segala hal. Cerdas, tampan, dan keras kepala. Sifat angkuh dan kenakalannya menjadi nilai minus dari dirinya. Kim Minji, gadis berusia 17 tahun yang menjadi pembantu di rumah keluarga Shim. Dia...