trentadue

75 6 0
                                    

Hujan turun. Tidak cukup deras, namun mampu untuk membuat Waja basah kuyup. 

Menunggu, Waja masih menunggu Raya dengan setia di depan kostan serba merah muda itu. Meski sekarang tidak ada tanda-tanda kehidupan karena semua penghuninya sudah pasti sedang pulang di tengah liburan sehabis UAS ini. 

Terkecuali Dini, yang merupakan teman terdekat Raya dan Waja tidak tahu ini, tapi Dini adalah orang yang disukai Tirta selama dua tahun ke belakang.

Dini hanya kembali ke kostannya karena masih ada barang yang tertinggal. Siapa sangka yang Dini temui malah Waja yang sengaja membiarkan dirinya terguyur air hujan. 

Sebenarnya Dini merasa kasihan pada Waja yang ditinggalkan begitu saja oleh Raya. Berulang kali Dini menahan diri untuk tidak memberitahu Waja tentang alasan kenapa Raya pergi seperti itu. Raya memang tidak meminta Dini untuk tidak menceritakannya. Apakah Dini harus menceritakannya pada Waja sekarang?

"Ja, lo ngehalangin pager," kata Dini setengah berteriak karena hujannya semakin deras.

Waja menoleh lalu membukakan pagar tersebut untuk Dini.

“Lo masih mau diem disitu? Kalau iya, mending neduh bentar disini. Kalau gak mau neduh disini, gue bakal maksa lo pulang.”

“Kalau gue nunggu, Raya bakal dateng ga?” tanya Waja, suaranya lirih.

Dini menghela napas lalu menggeleng. Ya tidak mungkin Raya tiba-tiba datang begitu saja.

“Gue pulang aja deh kalo gitu. Makasih udah ditawarin buat neduh, Din,” Waja pamit dan langsung pergi dengan motornya menembus derasnya hujan yang sepertinya enggan untuk reda sore itu.

“Padahal kalau lo mau nunggu bentar aja, pasti gue ceritain sedikit soal Raya. Tapi, yaudahlah,” gumam Dini lalu menutup kembali gerbang kostannya.






- - -







Masih hujan juga, tapi di tempat lain. Iza terpaksa menunggu di gazebo.

Bersama Rion.

Kira-kira sudah dua puluh menit mereka berdua hanya duduk bersebelahan tanpa mengatakan apa-apa.

Iza kira Rion akan memulai pembicaraan dengannya, tapi Rion hanya diam dan memandangi rintik-rintik hujan yang semakin deras.

Sampai Rion pelan-pelan terlihat seperti terkantuk-kantuk dan hampir saja terjatuh dari gazebo kalau saja Iza tidak menahan badannya.

Hela napas Rion berat, matanya hampir terpejam.

“Yon! Sadar!” seru Iza sambil menepuk-nepuk pipi Rion.

Rion tiba-tiba pingsan. Ketika menepuk-nepuk pipinya, Iza bisa merasakan suhu badan Rion yang panas sekali.

Iza menarik badan Rion masuk lebih dalam ke gazebo dan menidurkan kepala Rion di pahanya. Iza juga melepaskan jaket tebalnya untuk diselimutkan ke Rion.

Hujannya malah semakin deras dan tidak ada tanda-tanda ada orang lain di sekitar mereka. Pastilah mereka berteduh di dalam gedung dan tidak berada di luar ketika hujannya sederas ini.

“Gue gapapa, Iza,” kata Rion serak dan suaranya lemah sekali. Iza nyaris tidak bisa mendengarkannya jika ia tidak mendekatkan telinganya ke wajah Rion.

“Gapapa gimana? Badan lo panas banget,” Iza masih panik sambil mencari kontak Waja untuk dihubunginya.

Namun Waja tidak menjawab sama sekali telepon dari Iza, “Lagi ngapain sih nih bocah?!”

Akhirnya Iza menghubungi Sarim dan langsung diangkat pada deringan pertama.

Hal-

“Sarim, lo bisa jemput Rion di gazebo FIB nggak?”

Sekarang? Rion kenapa? Bukannya dia bawa motor sendiri?

“Pingsan. Badannya panas banget. Lo bisa pinjem mobil Maminya Rion dulu gak?”

Bisa. Bentar ya, gue izin ke Tante Ira dulu. Gue langsung otw abis ini.”

“Oke, Rim. Makasih dan hati-hati di jalan ya,” kata Iza lalu menutup teleponnya. Sekarang Iza bisa merasa agak lega.

“Lo khawatir sama gue karena gue barusan hampir pingsan apa karena lo masih sayang sama gue, Za?”

Sumpah, Arion ini beberapa menit yang lalu hampir pingsan, tapi mulutnya masih bisa berceloteh.

“Menurut lo?” Iza balik bertanya.

Rion tersenyum tipis, “Gue sih ngarepnya lo masih sayang sama gue.”

“Ya, terserah lo mau anggep apa.”

Begitu Iza mengatakan itu, Rion sontak terbangun dan memandang Iza dengan wajah pucatnya.

“Lo tuh sakit, geblek!” Iza memukul pelan punggung Rion karena ia tiba-tiba terbangun seperti itu.

“Kayaknya gue sembuh kalau lo bilang lo sayang sama gue.”

“Orang gila.”

I am!” Rion malah bangga.

Tepat waktu, Sarim datang dengan mobil milik Tante Ira lalu keluar memakai payung warna merah.

Sarim bingung melihat orang yang katanya hampir pingsan karena badannya panas malah duduk berselimutkan jaket warna merah muda sambil merecoki Iza dengan pertanyaan-pertanyaannya.

“Beneran sakit ga sih ini?” gumam Sarim.

“Bawa nih,” kata Iza dengan raut wajah sebalnya sambil menarik jaket miliknya yang ia selimutkan kepada Rion tadi.

Rion malah menahannya, “Gak mau,” katanya seperti anak kecil.

Kalau tidak ingat Rion sedang demam dan hujan deras yang mengguyur mereka ini, mungkin Iza sudah baku hantam dengan Rion di lahan depan gazebo di mana mobil Tante Ira terparkir saat ini.

“Lo gak ikut, Za? Sekalian lo nebeng pulang juga deh ayo,” tawar Sarim.

Rion tersenyum penuh kemenangan lalu masuk ke mobil duluan dengan masih menggunakan jaket milik Iza.

“Ayo,” ajak Sarim lagi.

Iza mau tak mau akhirnya menurut dan duduk di kursi depan sebelah Sarim. Enggan bersebelahan dengan Rion yang sedang tersenyum sambil semakin menyelimuti dirinya dengan jaket milik Iza.

Ketika Sarim sudah sampai mengantarkan Iza ke rumahnya, Iza tidak bisa mengambil jaket miliknya karena Rion memakainya lalu ketiduran.

“Nanti juga dia balikin, Za. Kalau dia gak inget buat ngebalikin, gue ingetin terus ntar,” kata Sarim.

Iza menghela napas pasrah. Lalu melambaikan tangan pada Sarim yang kembali melaju dengan mobil Tante Ira.

Tebakan Iza, Rion tidak akan mengembalikan jaket itu. Tidak akan pernah, kecuali Iza menerima Rion jadi pacarnya lagi.






•••

Huaaaaa! Akhirnya update hiks :'D

Gamau ngomong banyak-banyak, tapi semogaaaaa banget bulan ini aku bisa update lagi!

Aku semangat mau cepet beresin buku ini dan mau publish buku baruuuuu 😻✨

Sampe ketemu di chapter berikutnya!

La StoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang