trentaquattro

84 6 5
                                    

Yesha kira ia akan berani menatap mata Jihan ketika ia mengajak Jihan untuk berbicara sebentar dengannya saat pulang sekolah di taman belakang.

Nyatanya yang terjadi sekarang, Yesha malah terus-terusan melihat ke sepatunya. Ilalang yang ia injak seolah menghipnotisnya dan membuat ia terus menerus menatapnya.

"Jadi, lo mau ngomongin apa, Sha?" tanya Jihan pada akhirnya.

Yesha menarik satu napas panjang sebelum menjawab, "Kak Maha."

Alis Jihan mengerut, "Kak Maha?"

Yesha mengangguk sambil menatap Jihan dengan degup jantungnya yang kian bertambah cepat.

"Ada banyak hal yang pengen gue omongin ke lo tentang Kak Maha."

Obrolan diteruskan, hanya Yesha yang berbicara untuk sekitar kurang lebih lima menit. Jihan tidak menyela sama sekali dan hanya memasang ekspresi datar sepanjang Yesha bercerita.

"Gue sama Kak Maha nggak pacaran. Cuma ya, gitu deh. Gue minta maaf banget karena gak pernah cerita sama lo sedikit pun tentang ini ketika gue udah tau kalau lo emang udah suka sama Kak Maha dari awal kita masuk SMA."

Begitu cara Yesha mengakhiri apa yang ia sampaikan. Sekarang malah Jihan yang terlihat enggan untuk menatap Yesha dan matanya sibuk mencari objek lain untuk dilihat.

"Rumit banget," kata Jihan, "Bahkan lebih rumit daripada soal matematika yang bikin gue harus ngajarin lo hampir tiga jam."

"Lo gapapa, Sha?"

Yesha bingung, "Kok gue? Harusnya kan gue yang nanya gitu ke lo?"

"Lah, gue mah gapapa. Dari awal juga cuma gue yang suka sama Kak Maha, dia mah gak ada perasaan sedikit pun ke gue. Jadi, gue emang udah menduga hubungan gue sama Kak Maha bakal cepet putus. Terlepas dari apa yang terjadi antara lo sama Kak Maha, gue tau hubungan ini gak bakal berhasil."

"Dan bukan salah lo juga Sha, kalau lo gak mau atau belum siap buat ngomongin semua yang lo omongin ke gue barusan. Karena itu semua masalah keluarga lo kan, masuknya udah ke ranah privasi. Gue bukan orang yang berhak tau amat soal masalah itu. Jadi, gue yang harusnya berterimakasih ke lo karena udah percaya sama gue buat nyeritain masalah pribadi lo."

"Jihan.. lo harus pake BANGET dapetin cowok yang lebih baik dari Kak Maha," kata Yesha dramatis yang sontak membuat Jihan tertawa keras.

"PASTILAH!" seru Jihan, "Harus nemu yang lebih baik daripada yang lalu kan ya?"

Yesha mengangguk-angguk setuju, "Wajib!"

Selanjutnya mereka lanjut mengobrol dengan obrolan yang lebih ringan, diimbuhi tawa, dan perasaan yang jauh lebih lega dan tenang di antara keduanya.

Sampai akhirnya Maha tiba-tiba datang dari belakang Yesha, baru saja Maha mau mengundurkan niatnya untuk menghampiri Yesha karena obrolan kedua gadis ini terlihat sangat asyik dan kehadiran Maha bisa saja mengganggu. Tapi kemudian Jihan yang melihat Maha datang, langsung memberi kode pada Yesha dan membuat Yesha langsung menoleh ke belakangnya lalu tersenyum hingga lesung pipinya timbul.

Jihan berlagak sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, "Waduh, udah jam segini. Gue pulang duluan ya, Sha."

"Oh, iya. Hati-hati di jalan, Han," sahut Yesha dan mereka berdua melambaikan tangan sampai Jihan sudah tidak terlihat lagi.

"Looks like it's going well," komentar Maha yang sekarang duduk di tempat yang diduduki Jihan barusan.

"Apanya?" tanya Yesha.

"The talk?" 

"OH, iya iya," Yesha mangut-mangut, "Berjalan jauh lebih lancar dari yang aku duga."

La StoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang