venticinque

117 19 9
                                    

Singkat cerita, Maha dan Uza sudah menjalani Ujian Sekolah dan Ujian Nasional juga.

Ketika Tirta dan Syam libur saat Maha dan Uza ujian, sekarang sudah bergantian.

Maha masih belum menyelesaikan masalahnya dengan Yesha dan masih begitu-begitu saja dengan Tirta. Canggung tidak, tapi banyak mengobrol pun tidak. Untungnya tidak ada yang mencurigainya karena sedang masa-masa ujian jadi mereka pikir Maha cuma butuh menyendiri untuk belajar.

Sedangkan Uza, dia cukup berusaha dengan keras untuk memfokuskan pikirannya hanya untuk ujian dan mencoba untuk tidak memikirkan Hanifa terlebih dahulu.

Beberapa kali kadang Uza kepikiran apa pacar Hanifa datang, apa Hanifa dikasari lagi, bagaimana kalau Hanifa menangis setelahnya, siapa yang menenangkannya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus ada di pikiran Uza.

Tapi Hanifa sendiri yang meminta Uza untuk fokus saja pada ujiannya dulu dan Hanifa tidak akan menghubungi Uza sama sekali sampai ujiannya selesai begitupun Uza tidak boleh menghubungi Hanifa.

Begitu ujian hari terakhir selesai, Uza dengan buru-buru pulang ke asrama dan mengganti bajunya lalu bergegas ke kostan Hanifa.

Rasa panik dan khawatirnya selama ini hilang ketika melihat Hanifa sedang tertawa sambil bermain dengan kucing. Uza dari jauh melihatnya juga ikut tersenyum.

Tak lama, Hanifa menyadari keberadaan Uza dan melambaikan tangannya pada Uza sambil tersenyum lebar. Uza membalas lambaian tangan itu.

"Siniiiii, Za," ajak Hanifa.

Uza masuk ke pekarangan kostan itu lalu ikut jongkok di sebelah Hanifa yang masih bermain dengan kucing.

"Udah beres ujiannya?" tanya Hanifa.

"Udah, hari ini terakhir," jawab Uza sambil ikut mengelus kucingnya.

"Yaampun langsung banget nih habis beres ujian langsung kesini? Kangen ya lo sama gue," goda Hanifa iseng.

"Iya," kata Uza lugas.

Hanifa setelahnya terdiam, tidak menyangka jawaban itu yang keluar dari mulut Uza.

"Kak, lo gapapa kan? Pacar lo gak ngapa-ngapain lo?" tanya Uza.

"Gapapa kok gue. Gue suka kabur sendiri aja sih kalau misal dia tiba-tiba nyamperin kesini. Gue dari dulu juga udah gitu kok, cuma kadang beberapa kali aja suka sial, haha," jelas Hanifa.

"Kak, kenapa gak minta putus aja sih?"

Hanifa tersenyum miris, "Kalo gue minta putus, gue dipukul. Ya, emang biasanya juga dipukul. Tapi, kalau minta putus itu dia bakal lebih marah daripada biasanya."

Uza baru ingin membalas ucapan Hanifa, tapi perutnya tidak bisa diajak kompromi.

"Kak, boleh numpang ke kamar mandi gak?" tanya Uza dengan suara kecil.

"Boleh tuh disitu kamar mandinya, nyalain dulu lampunya, saklarnya yang diluar itu," kata Hanifa sambil menunjukkan.

"Oke, makasih," kata Uza lalu ngibrit ke kamar mandi.

Hanifa tertawa kecil melihatnya, "Gemes banget," gumamnya.

Tapi tak lama, tawa Hanifa pudar setelah melihat seseorang yang datang menghampirinya.

"Siapa, Nif?" tanyanya dengan suara dingin.

Ini pacar Hanifa, namanya Arsa.

"Adik kelas aku waktu SMA," jawab Hanifa seadanya tanpa melihat ke arah Arsa.

Arsa tertawa meledek, "Adik kelas apa pacar baru lo," katanya.

“Sa, gue gamau berantem terus,” lirih Hanifa.

La StoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang