quattordici

223 33 12
                                    

Motor Lia masih rusak.

Tentu saja Wabil berharap kalau Lia akan meminta tumpangan padanya selama motornya masih diperbaiki. Tapi harapan itu pada akhirnya hanya Wabil kubur dalam-dalam karena Lia lebih memilih Juna.

Pemandangan Juna menjemput dan mengantar Lia pulang sudah beberapa hari ini menjadi pemandangan pahit untuk Wabil.

Wabil bete, Wabil kesal, Wabil marah. Tapi Wabil sadar, Wabil tidak lebih dari sekedar mantannya Lia saja. Tidak ada hubungan apa-apa lagi.

Sampai Wabil sendiri yang akhirnya berusaha menghindari Lia agar tetap terjaga suasana hatinya. Hanya saja ketika pagi buta itu, saat Wabil membuang sampah keluar dan Lia juga. Masih dengan piyama dan rambutnya yang acak-acakan, tapi tetap cantik di mata Wabil.

Entah karena Wabil yang masih setengah sadar atau bagaimana, Wabil menghampiri Lia dan menatapnya lekat-lekat. Lia juga tidak menghindar dan membalas tatapan Wabil.

“Ada gue yang di depan rumah lo, tapi kenapa malah Juna?” tanya Wabil yang spontan membuat Lia mengernyit heran.

Sadar akan pertanyaan bodohnya yang mendadak, Wabil mengacak rambutnya dan menutup mukanya. Malu untuk menatap Lia lagi.

“Lupain, gue masih setengah sadar ini. Gue masuk y-” 

“Mau jalan pagi gak?” tawar Lia.

Wabil perlahan menatap Lia lagi dengan tatapan penuh tanya.

“Apa?” tanya Wabil, ingin memastikan dia tidak salah dengar.

Lia mendengus, “Jalan pagi. Sambil ngobrol bentar. Mau gak?”

“Boleh deh,” jawab Wabil.

Wabil Sadeli Saaqib tidak pernah membuang-buang yang namanya kesempatan.

Ya kecuali kesempatan untuk balikan dengan Lia, hal yang satu itu masih belum berani Wabil ambil.

Wabil dan Lia akhirnya jalan berdampingan pagi itu, menyusuri jalanan komplek yang masih sepi karena penghuninya masih terlelap. Bahkan matahari juga belum sepenuhnya muncul. Keduanya masih saja diam dan menikmati udara segar pagi itu sambil terus berjalan. Wabil diam-diam menikmati ini, melihat Lia di sebelahnya yang berkali-kali mengambil napas dalam-dalam. Lia dari dulu selalu bilang kalau dia suka udara pagi. Dulu, Wabil dan Lia juga rutin jalan pagi seperti ini. Iya dulu, saat status keduanya masih berpacaran.

“Udah berapa lama ga jalan pagi berdua gini ya, Li?” tanya Wabil memecah keheningan.

“Semenjak putus lah,” jawab Lia enteng namun jleb ke hati Wabil.

Akhirnya mereka sampai di taman depan komplek dan duduk di salah satu kursi panjang disitu.

“Bil,” panggil Lia setelah beberapa menit hening.

“Iya?” jawab Wabil lembut.

“Lo masih sayang sama gue gak?” tanya Lia tiba-tiba.

Ini seperti sebuah serangan untuk Wabil. Wabil juga baru sadar entah sejak kapan mereka berdua mengubah panggilan menjadi lo-gue, padahal sebelumnya masih aku-kamu.

“Masih. Banget,” jawab Wabil tegas.

Wabil sedang berpikir untuk bertanya balik pada Lia, tapi Lia yang mengatakanya terlebih dahulu.

“Sama, gue juga.”

Lidah Wabil kelu, dia tidak bisa berkata apa-apa. Wabil speechless saat mengetahui faktanya kalau Lia juga masih menyayanginya.

“Tapi gue gak ngarep buat kita balikan kok, Bil. Gue ngerasa untuk memulai sesuatu yang udah pernah berakhir itu bakalan susah. Gue gak mau sakit hati atas orang yang sama untuk kedua kalinya. Gue juga tau, disini bukan gue doang yang tersakiti, lo juga. Gue gamau lo sakit hati lagi sama gue, Bil. Jadi, karena gue sayang sama lo, maka dari itu gue mau kita saling melepaskan diri dan bener-bener mulai di jalan masing-masing.”

La StoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang