Part 5

291 87 51
                                    

"Kalau kamu kangen, kenapa kamu gak nyusul aja bunda kamu? Supaya kangen kamu hilang!" Ucap Ferdy sangat menusuk.

Perkataan Ferdy dengan entengnya keluar begitu saja tanpa memperdulikan perasaan Nesha. Sungguh, ucapan itu mampu membuat hati Nesha tersayat perih, bahkan mampu melebihi itu. Anak mana yang tidak merasakan sakit jika papa kandungnya menyuruh anaknya mati. It's bad.

Sudah beberapa kali perkataan semacam itu keluar dari mulut Ferdy. Setiap kali itu juga Nesha merasakan sangat perihnya perkataan itu.

Nesha menahan tangisnya. Enggan menumpahkan air matanya di hadapan Ferdy dengan situasi seperti ini.

"Bunda kamu meninggal itu  gara-gara kamu sendiri. Gara-gara anaknya yang gak tahu diri."

"Kamu gak usah bohongin saya dengan alasan kamu yang lama di makam bunda kamu ya. Kamu jangan pernah bersandiwara kalau kamu lagi kangen sama bunda kamu. Omongan kamu itu cuma omong kosong!"

"Pa, udah berapa kali Nesha bilang. Bunda meninggal bukan kemauan aku pa. Gak mungkin Nesha mau bunda meninggal. Kenapa papa selalu menganggap yang bikin bunda meninggal adalah Nesha pa?"

"Memang gara-gara kamu!"

"Iya pa, karena kekeras kepalaan Nesha waktu itu. Tapi itu udah takdir pa. Kalau ada pilihan. Nesha bakal membiarkan Nesha aja yang ditabrak. Bukan bunda."

Plak

"Jadi kamu senang dengan takdir kamu sebagai pembunuh bunda kamu sendiri."

"Pa, gak kayak gitu. Papa kapan sih bisa memahami ini semua kalau ini udah takdir."

"Kamu jangan pernah mengelak dengan alasan itu semua sudah takdir."

"Pa, aku gak mengelak."

Plak

"Faktanya emang seperti itu Ganesha." Ucap Ferdy kemudian melangkah pergi kamarnya. Meninggalkan Nesha yang merasakan perih karena tamparan yang double.

Selepas Ferdy pergi. Nesha langsung berdiri lalu menaiki tangga. Air matanya sudah tak tertahan. Ia masuk ke dalam kamarnya lalu mengambil foto bundanya dan memeluknya.

Nesha menumpahkan semua air matanya yang tak terbendung tadi. Mulai tamparan keras, perkataan Ferdy, sangat perih, bahkan lebih dari kata perih. Dengan situasi seperti tadi, sebenarnya sudah lama ia ingin menyusul bundanya. Namun, dirinya merasa masih bisa bertahan, karena masih ada seseorang yang bisa memberikannya kebahagiaan.

Kini Nesha sudah berhenti menangis. Ia duduk di depan cermin. Memperhatikan wajahya sesaat. Kemudian ia meraba pipi kirinya dengan lembut.

"Perih pa. Dua kali loh pa, papa nampar aku." Gumamnya seakan berbicara dengan Ferdy di balik cermin.

"Pa, kenapa papa selalu menganggap rasa kangen Sasha ke bunda adalah omong kosong?"

"Sasha beneran kangen pa. Bahkan kalau papa suruh Sasha nyusul bunda aja kalau lagi kangen, Sasha mau banget pa, tapi belum saatnya. Masih ada orang yang membuat Sasha bisa bertahan."

Bekas tamparan keras yang diberikan Ferdy tadi menciptakan warna keungu-keunguan di pipinya. Ia mengoleskan sedikit salep di pipinya agar ia tak merasakan ngilu dan membekas sampai besok.

Suara notifikasi menghentikan aktivitasnya saat ini. Ia beranjak dan merogoh ponselnya yang belum dikeluarkan dari tasnya.

Rafdan
Sha, papa lo ada di rumah gak?

Nesha
Ada, emangnya kenapa Raf?

Rafdan
Ada bingkisan mau gue bawain. Tadi gue dapat tiga, jadi gue mau bawain lo satu.

Nesha
Makasih sebelumnya, Raf.
Kali ini kasih temen lo aja.
Gue takut nanti ketahuan bokap gue.

Rafdan
Oke.

Ngomongin tentang makanan, seketika perutnya menjadi lapar. Ia ingin turun ke bawah untuk makan, namun ia juga sedang malas. Kejadian tadi membuatnya tak ingin turun makan. Lebih memilih menahan lapar saja.

"Gue laper, tapi males turun."

Nesha beralih mengecek ponselnya. Raut wajahnya menjadi lesuh ketika melihat tidak ada pesan dari Alga sedari tadi. Ia urungkan niat untuk mengirim pesan kepada Alga ketika terlintas di pikirannya, bahwa cowok itu pasti sibuk lagi.

Suara ketukan pintu membuyarkan keterdiaman sesaat Nesha. Terdengar suara bi Mina memanggil dari balik pintu.

"Non Nesha." Panggil bi Mina dari luar.

Nesha lantas membuka pintu. "Ada apa, bi?"

"Ini non, ada bingkisan makanan dari teman non tadi."

"Kok bisa bi?"

"Mending Non tanya langsung aja sama temennya."

"Yasudah kalau gitu bibi ke bawah ya non."

**

"Kemarin lo dapet bingkisan dari Rafdan, kan?"

Nesha menganggukkan kepalanya.

"Bokap lo tau gak pas Rafdan datang ke rumah lo?"

"Itu yang mau gue pertanyakan." Celetuk Nesha.

Nesha beralih menatap cowok yang duduk di meja dengan kakinya bertumpu di atas kursi.

"Raf, kok bisa lo gak ketahuan bokap gue kemarin?"

"Karena gue gak ketahuan." Ucap Rafdan santai yang masih fokus bermain game di ponselnya.

"Rafdan, gue serius nanya."

"Bentar Sha, dikit lagi gue menang, nih."

"Ck. Lain kali lo gak usah bawain gue bingkisan lagi atau apapun itu."

Sontak Rafdan langsung menghentikan aktivitas bermain gamenya. Padahal sebentar lagi ia merasa akan menang. Tapi ia rela kalah ketimbang diabaikan oleh sahabatnya itu. Kini ia beralih menatap Nesha.

"Ngambekan banget sahabat lo Vi." Cibir Rafdan.

"Salah lo sendiri, ditanyain serius malah gak jawab-jawab." Cibir balik Viona.

"Bukannya gue gak mau jawab, tapi kan gue lagi main game."

"Iya tau kok. Cowok itu kalau udah main game, orang-orang di sekitarnya bakal dilupain." Cibir Viona kembali dengan tatapan sinis kepada cowok itu.

"Kok lo ikutan ngambek juga sih Vi. Serba salah deh gue."

"Salah lo sendiri." Ucap Nesha dan Viona bersamaan.

"Kompak banget sih kalian." Goda Rafdan.

"Rafdan, gue serius ya. Sekarang lo jawab."

"Udah berhenti nih ngambeknya?"

"Rafdan." Ucap mereka berdua yang mulai kesal.

"Bener-bener kompak banget kalian berdua." Ucap Rafdan sembari tertawa kecil melihat tingkah kedua sahabatnya itu.

"Gak lucu tau Raf."

"Lo gak usah ketawa-ketawa ya. Bercanda mulu lo." Kesal Viona.

Sudah puas melihat raut wajah dua sahabatnya yang tampak kesal, sekarang Rafdan menjawabnya dengan serius.

"Jadi kemarin pas gue udah mau pergi, tiba-tiba gue liat bokap lo keluar. Pas udah jauh gue langsung aja masuk terus yang bukain pembantu lo, jadi gue nitip deh ke pembantu lo."


***

Vote & Komen ♡

Garis Takdir Nesha (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang