Lisa tahu ada yang berubah saat ia membuka mata. Tak ada raut khawatir, tak ada kepanikan, tak ada Ten. Ruang inapnya kali ini terasa sunyi, hanya suara detak jarum jam yang memecah keheningan sore itu. Ringisan keluar dari belah bibirnya saat gadis itu berusaha bangkit untuk merubah posisinya.
"Eonni! Kau sudah bangun?" Rupanya pergerakan Lisa disadari Ennik yang sedang bermain game di sofa yang membelakangi ranjang.
Lisa berhasil duduk setelah Ennik dengan sigap menekan tombol untuk merubah posisi ranjang. Perempuan itu memejamkan mata sejenak, berusaha menetralkan rasa pening juga nafasnya yang terasa menyakitkan.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Ennik khawatir karena Lisa masih memejamkan matanya meski sudah satu menit berlalu. Istri bosnya itu mengangguk, perlahan perempuan itu membuka mata dan menyapu seisi ruangan. Benar, tak ada sosok Ten dimana-mana.
"Kau yakin?" Lisa kembali mengangguk. Ennik menatap perempuan itu tak yakin, tapi akhirnya memilih percaya dan duduk dengan nyaman di kursi yang berada di samping ranjang.
Lisa memegang kepalanya, ia merasakan perban yang melingkar disana. "Kau membutuhkan beberapa jahitan, Eonni. Lukanya dalam, beruntung tidak mengenai tempurung kepala—jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan." Jelas Ennik tanpa diminta. Si perempuan menghela nafasnya berat, lagi dan lagi dia sudah merepotkan banyak orang.
Tak lama kemudian dr. Byun beserta para perawat datang. Mereka mulai memeriksa kembali kondisi Lisa, memastikan keadaan si pasien, bercengkrama dengan hangat sebelum akhirnya berpamitan pergi dari sana.
Ruangan itu kembali hening. Lisa merasakan sesuatu yang teramat ganjil. Hari sudah menjelang malam, tapi Ten? Pria itu belum juga muncul, bahkan sekedar menelpon atau mengirim pesan pun tidak. Kemana dia? Hatinya mulai gelisah.
Kegelisahannya itu terjawab keesokan harinya, saat Hendery datang dengan wajah yang nampak tak baik-baik saja. Pemuda itu datang sendiri tanpa Ten, dengan sebuah amplop coklat ditangan—yang Lisa yakini sebagai alasan si pemuda datang menemuinya. Lisa tahu itu bukan hal yang bagus saat melihat bagaimana kesalnya wajah Ennik dan pasrahnya wajah Hendery.
Surat pernyataan cerai.
Adalah satu kalimat yang pertama kali muncul begitu Lisa mengeluarkan lembaran kertas dari dalam amplop. Nafasnya tertahan, jantungnya berdetak lebih cepat, dadanya seakan baru saja dihantam dengan kuat.
Sesak.
Ya. Cerai. Ten memintanya untuk bercerai.
Kalau saja ia tahu akan dihadapkan pada kenyataan pahit seperti ini, rasanya Lisa akan lebih memilih untuk tidak membuka mata untuk selamanya. Lisa menatap kertas di tangannya dengan wajah datar. Wajah cantik itu tidak menunjukkan ekspresi apapun ketika membaca deretan kata disana. Satu helaan nafas keluar membuat dua manusia disana memandangi Lisa dengan perasaan was-was, Ennik bahkan sudah bersiap jika saja istri atasannya itu akan mengamuk sewaktu-waktu mengingat keadaaan mental si perempuan yang tidak baik-baik saja.
Alis Hendery menyatu begitu tangan sang nyonya terulur di depannya. "Pulpen." Singkat Lisa menjawab kebingungan si pemuda.
Ennik mendelik tak percaya. "Eonni, setuju?! Kau akan menandatanganinya?!" Seru perempuan itu dengan nada tinggi.
"Kenapa aku harus tidak setuju?"
"Kau bisa menolaknya, Eonni!"
Lisa tertawa miris. "Untuk apa? Aku pasti sudah sangat merepotkannya sampai dia tak tahan dan ingin bercerai dariku." Ucap perempuan itu memandangi surat perceraian ditangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Hearts
FanfictionTen Lee dan Lalisa... Teman kecil yang akhirnya berubah menjadi teman hidup. Satu keputusan terpaksa yang harus diambil keduanya demi kebebasan masing-masing. Dua manusia berbeda mulai dari keseharian, karir juga kesibukan. Dua manusia berstatus men...