Lisa pingsan begitu keluar dari mobil. Beruntung Ten dengan sigap langsung menangkap tubuh lemas istrinya, sehingga perempuan itu tidak sampai terjatuh ke tanah. Dalam pelukannya, Ten bisa merasakan bagaimana tubuh Lisa terasa dingin saat kulit mereka bersentuhan. Wajahnya pun nampak pucat dengan bibir yang memutih. Sebenarnya sebanyak apa istrinya itu kehilangan darah?
Tanpa menunggu lama Ten menggendong Lisa dan membawanya masuk ke ruang gawat darurat. Changmin dan Ennik menunggu diluar ruangan sedangkan Juyeon kembali ke mobil untuk memarkirkan kendaraan itu pada tempatnya.
Perawat yang kaget melihat kedatangan pasien langsung membantu Ten untuk meletakkan Lisa di ranjang untuk kemudian diperiksa. Ten masih berdiri di sana, memandang semua itu dalam diam dengan tangan yang terkepal.
"Saya akan tetap disini." Tegas Ten saat melihat seorang perawat hendak mengusirnya. Perawat itu nampak serba salah, namun kode dari dokter yang baru bergabung dengan mereka membuat perawat itu mundur dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Ten menatap istrinya dengan wajah datar. Kini di tubuh Lisa sudah terpasang berbagai jenis selang, selain itu perban yang menutupi luka pun sudah dilepas. "Perawat Jo, tolong ambilkan kantung darah." Suruh dokter bername tag dr. Byun itu, dia baru saja selesai memeriksa kondisi Lisa.
"Golongan darahnya O." Sahut Ten memberi informasi. Perawat Jo mengangguk paham, "Baik, dok." Kemudian menyibak tirai dan segera berlari mengambil kantung darah.
"Lukanya dalam. Beruntung itu tidak mengenai tempurung kepalanya, dia hanya perlu dijahit tanpa perlu masuk ruang operasi. Istrimu kehilangan banyak darah, karena itu dia pingsan." Jelas dr. Byun yang kini melangkah mendekati Ten.
"Aku tahu kau khawatir, Ten. Tapi, bisakah kau keluar sekarang? Aku akan menjahit lukanya disini dan tempat ini harus steril. Dia baik-baik saja, pergilah minum kopi. Kau tampak sangat berantakan." Usir pria itu halus.
Ten menghembuskan nafasnya. Pria itu mengangguk, dia menatap dr. Byun dengan wajah serius. "Aku ada diluar jika kau membutuhkanku, Hyung." Kata pria itu sebelum pergi dari sana.
✖️✖️✖️✖️✖️
"Kenapa tidak kau patahkan saja lehernya?! Augh... Membuatku kesal saja." Marah Changmin saat mendengar cerita Ennik . Kini mereka sedang duduk berjejer disebuah bangku panjang yang berada di depan ruang gawat darurat.
"Harusnya kau langsung menelponku begitu keluar dari rumah Rose." Timpal Juyeon yang juga merasa kesal. Seandainya saja dia tidak menuruti perkataan si istri bos dan tetap membuntuti mereka, mungkin saat ini perempuan itu tidak akan berada di dalam sana.
"Nyonya baik-baik saja, kan?" Ennik menggangguk. "Aku yakin itu bukan luka yang serius. Maksudku, luka itu dalam tapi tidak seserius sampai harus dioperasi. Dia hanya butuh donor darah juga jahitan untuk menutupi lukanya." Jelas perempuan itu lagi. "Syukurlah." Hendery menghela nafasnya panjang dan berat. Jujur saja, dibanding Lisa pemuda itu lebih khawatir dengan kondisi Ten. Baru siang tadi dia melihat tawa dari sang tuan, kini wajah itu kembali meredup kehilangan binarannya. Rasanya bukan hanya mental Lisa yang terguncang, tapi kini mental Ten juga nampak tidak baik-baik saja.
"Sedang memikirkan apa?" Tanya Juyeon penasaran karena melihat wajah raut rekannya itu berbeda dari biasanya. Hendery meggeleng pelan. "Entahlah. Dibanding dengan Nyonya, aku lebih mengkhawatirkan kondisi Tuan sekarang." Jujur pemuda itu. Dia sudah lama menjadi asisten Ten, bukan sekali dua kali mereka menghadapi masalah bahkan yang berkaitan dengan nyawa sekalipun. Tapi, untuk kali ini Hendery seakan bisa melihat bagaimana raut wajah itu terlihat lelah seakan ingin menyerah.
"Sebenarnya, apa yang sedang kau khawatirkan?" Tanya Changmin. Hendery menghirup nafas panjang kemudian melihat satu persatu rekannya. "Siang tadi Ruby datang ke kantor." Sesuai dugaannya, tiga pasang mata disana langsung membola. "Ruby? Untuk apa? Setahuku dia tidak pernah mau jika Hyung menyuruhnya kesana," Heran Juyeon.

KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Hearts
FanfictionTen Lee dan Lalisa... Teman kecil yang akhirnya berubah menjadi teman hidup. Satu keputusan terpaksa yang harus diambil keduanya demi kebebasan masing-masing. Dua manusia berbeda mulai dari keseharian, karir juga kesibukan. Dua manusia berstatus men...