10📨

708 122 35
                                    

Entah sudah berapa kali perempuan itu menghela nafas lelah, ini terlalu membosankan dan juga menyebalkan. Ia yang sedang duduk di sofa melemparkan tatapan kesal pada si pria yang nampak sibuk di meja kerjanya.

"Sebenarnya, harus berapa lama lagi aku menunggu?" Tanya perempuan itu akhirnya. Ia sudah berada di ruangan ini lebih dari satu jam, dan yang ia lakukan hanya menunggu.

Ten mendongak, menatap lurus pada sang adik yang nampak kesal karena diabaikan. "Sebentar lagi, aku harus menyelesaikan ini." Jawabnya. Kemudian pria itu kembali menyuruh Hendery yang berdiri disampingnya untuk melanjutkan penjelasan yang sempat terhenti.

Tern menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa, ia tidak suka menunggu. Tapi, melihat wajah serius Ten membuat perempuan itu tutup mulut dan tidak melanjutkan aksi protesnya.

Setengah jam kemudian Hendery keluar dari ruangan. Tern yang sedang memainkan game diponselnya langsung mendongak, memastikan kalau urusan Ten sudah selesai.

"Sudah?" Tanya perempuan itu saat melihat Ten melangkah mendekatinya.

Pria itu mengangguk, mendaratkan bokongnya pada sofa single yang berada di samping Tern.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya Tern to the point. Ia paham, tidak mungkin Ten memanggilnya jauh-jauh dari Thailand kalau bukan karena sesuatu yang sangat penting.

Ten tersenyum simpul, "Terima kasih karena kau tetap diam dan tak membocorkan soal Lisa pada keluarga besar..." ujarnya.

Tern mengibaskan tangannya, "Bukan masalah besar. Aku yakin kau punya alasan sendiri karena membantunya."

Pria itu mengangguk. "Ya, seperti yang kau tahu. Setidaknya itu bisa menjadi win win solution untuk saat ini."

"Bagaimana dengan karirnya? Bukannya sampai saat ini publik belum mengetahui pernikahan kalian? Ditambah kini Lisa hamil, ku rasa itu akan semakin sulit untuk ditutupi."

"Soal itu, aku sudah membicarakannya dengan Hyunsuk Hyung. Yang pasti semua jadwal yang sudah direncanakan sejak awal akan terganggu, untuk sementara mereka akan difokuskan ke jadwal individu. Begitu yang aku dengar."

"Itu saja?" Tern menatap Ten dengan sebelah alis yang terangkat. "Ck, kau hanya perlu menelponku jika hanya ingin mengatakan hal itu. Kenapa malah menyuruhku datang kesini?" Protes gadis itu.

Ten tertawa melihat reaksi adiknya, "Tentu saja tidak." Kemudian wajah tampan itu berubah serius. "Minggu lalu, seseorang mengirimkan seorang pembunuh bayaran untuk melukai Lisa. Padahal saat itu Lisa baru saja sampai di agensi. Beruntung ada security disana, kalau tidak bisa dipastikan perempuan itu akan berada di ruang ICU sekarang." Jelas Ten tanpa menyebutkan keterlibatan anak buahnya disana.

Tern terhenyak, terkejut dengan cerita yang baru saja didengarnya. "Siapa dalangnya? Apa Tuan Nam?" Tebak Tern tepat sasaran. Ten mengangguk, "Dan kemarin pembunuh bayaran itu ditemukan tewas diapartemennya dengan kasus bunuh diri." Tambah pria itu.

"Fuck!" Maki Tern. Ia menggeram kesal, tentu saja ia tahu itu bukan kasus bunuh diri. "Apa ayah harus tahu tentang ini?" Tanyanya lagi.

Pria itu menggeleng pelan. "Tidak. Bila perlu jangan sampai ayah tahu, meskipun cepat atau lambat aku yakin ayah akan mengetahuinya sendiri..." Kali ini Tern mengangguk menyetujui.

"Sepertinya Tuan Nam semakin berani, aku hanya ingin kau mengawasi keluarga kita. Tidak menutup kemungkinan kelompoknya akan menyerang kalian sekalipun berada di Thailand." Lanjut Ten memberi peringatan pada adiknya.

Tern mengangguk paham, "Baiklah. Kau fokus saja disini, aku akan mengurus semuanya disana. Jika terjadi sesuatu, aku akan langsung menghubungimu."

✖️✖️✖️✖️✖️

Paper HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang