32. Kelemahan Valtteri

1.9K 257 58
                                    



Plak!

"Julian!"

Suara teriakan Steve bersamaan dengan langkah kakinya yang berisik, meredam nyaringnya tamparan yang Anna layangkan pada pipi kanan Julian. Pria itu menoleh, pipinya kontan berubah warna menjadi merah karena pria itu memiliki kulit yang sangat putih.

Tidak puas hanya menghadiahi satu tamparan untuk tindakan gila Julian, Anna kembali menampar pipi Julian, tepat setelah pria itu menoleh untuk menatapnya. Kali ini korbannya adalah pipi kiri, yang kini memiliki warna yang hampir setara dengan bagian kanan.

Mata Anna sama sekali tak berkedip ataupun bergetar saat tangannya melayangkan tamparan pada monster dihadapannya. Dia malah memindah cincin berlian di jari kirinya untuk di pindahkan pada jemari kanan, lalu segera melayangkan bogeman pada hidung Julian.

Darah segar pun mengucur dari lubang hidungnya, namun meski demikian, baik Anna maupun Julian, sama sekali tidak ada yang terkejut dengan adegan yang saat ini keduanya perankan. Julian bahkan tidak mengucapkan sepatah katapun, atau sekadar mengaduh kesakitan, melainkan kini dia mulai menyeringai dan menyeka darah yang terus mengucur dari hidungnya yang memerah. Dapat dipastikan jika hidung itu sudah patah, karena dibogem dengan tangan pemilik berlian cantik di jari tengahnya.

"Hey, apa yang kau lakukan?" Panik Steve, dia segera menjauhkan Julian yang nampak santai.

Bahkan, Julian kini berontak dan kembali mendekat kepada Anna. Dia mendongakkan kepalanya dengan seringaian, seolah sedang menantang dan menyerahkan dirinya untuk kembali dipukuli.

Satu detik, dua detik, lima detik, tak kunjung menerima hantaman, Julian menurunkan dagunya untuk meneliti wajah datar Anna yang terlihat menyeramkan. "Tidak mau memukulku lagi?"

Alih-alih memukul, Anna meludah tepat di wajah Julian, lalu mengacungkan jari tengahnya pada wajah pria yang akhirnya kini kalah dan menjadi yang pertama memejamkan mata di antara keduanya. "Kau, jangan pernah berharap bisa bernafas dengan leluasa. Karena ajalmu akan semakin dekat." Ancam Anna lalu berbalik dan melangkah pergi.

"Rose?! Kamu mau kemana?" Teriak Steve, namun segera ditahan oleh Julian.

"Biarkan saja. Sebesar apapun tekatnya untuk pergi, dia tetap akan kembali padaku. Itu adalah takdirnya, untuk terus terhubung denganku."

Anna terus melangkah menjauh dengan kedua tangan yang gemetar seolah menggigil karena kedinginan. Ekspresinya di tahan sedemikian rupa agar tidak menunjukkan perasaan dan hatinya yang kini sedang hancur. Meski begitu, air mata terus berlinang dari kedua matanya yang memerah. Merasa tak mampu menahan isak, Anne menggigit bibir bawahnya hanya agar tidak mengeluarkan suara tangisan. Karena, saat dia menangis, saat itulah dia akan menjadi sosok yang lemah. Sedang kehidupan dihadapannya, jelas lebih keras dibanding kesakitan yang terus melandanya.

Satu hal yang kini ingin Anna hampiri, rumah. Tempat di mana janinnya dikuburkan, oleh seorang monster gila yang bahkan tidak lain adalah ayah dari janin tak berdosa itu.

Bagi Julian, mungkin ini hanya sebuah permainan. Dia hanya perlu menjalankan apapun sesuka hatinya, bahkan menghancurkan hidup seseorang sekalipun. Sedang Anna, dia hanya boneka yang hanya bisa pasrah saat dimainkan oleh sang majikan. Dia harus menelan kekecewaan, kesakitan, dan rasa putus asanya seorang diri saja.

Sepanjang perjalanan pulang dengan kendaraan umum, tak hentinya Anna mengepalkan tangannya. Bibir bawahnya yang sedari tadi di gigit, bahkan mulai berdarah, hingga membuat beberapa penumpang angkutan umum menatapnya dengan terang-terangan atau bahkan sembunyi-sembunyi. Yang pasti, Anna menjelma menjadi bahan obrolan dan pusat perhatian di dalam kendaraan umum.

Selingkuhan Tuan MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang