23. Lelaki Bodoh Itu, Adalah Dirimu

2.8K 373 192
                                    


⚠️ Warning ❗
Cerita ini murni karangan aku, dan meski mengambil tema dari beberapa kasus, tapi semua yang aku tulis dan gambarkan, kebanyakan adalah fiktif saja. Semisal dikemudian hari kalian merasa alurnya sudah kelewatan enggak nyambung, silakan pencet tombol kembali, dan keluar tanpa meninggalkan jejak yang menyinggung ya. Karena apapun kritik dari kalian yg berhubungan sama alur cerita, sama sekali tidak akan aku tanggapi.
Terima kasih 🙏


================

Meksiko, awal musim panas 2010.

"Bagaimana perasaanmu, boy?"

Julian menaikkan pandangannya untuk menatap pria bercelana kargo hitam yang memiliki rambut abu dengan highlight putih, yang digandrungi oleh remaja masa kini. Bedanya, sang kakek mendapatkan warna itu secara natural, dan tidak membutuhkan campur tangan salon dengan biaya yang cukup tinggi.

Suara kepakan sayap burung yang terbang menjauh, membuat Julian kembali menatap kawanan burung yang sedari tadi menemaninya dalam kesepian. Tepukan di pundak menyadarkannya dari lamunan, dia menoleh pada sang kakek dan mengikuti arah pria akhir 60 tahunan itu duduk di sampingnya.

"Mereka bilang, keadaanmu sudah baik-baik saja. Orang tuamu terus meneror pa, untuk segera mengirimmu kembali, cih! Dasar anak-anak kurang ajar itu!" Dumel kakek, lalu menatap sang cucu dengan seksama. "Bagaimana menurutmu, Matt? Apa kau ingin kembali pada orang tuamu?"

Julian melirik lengannya yang dibalut perban berwarna coklat. Dia baru saja melepas gips yang berbulan-bulan harus membalut lengannya yang patah. Jarinya masih terasa kaku, meski dapat digerakkan dengan sebagaimana mestinya. "Aku akan pergi."

Terdengar suara helaan nafas sang kakek, lalu rambut Julian diusak dengan gemas. "Pergilah, kau membutuhkan orang tuamu. Semoga mereka bisa mengawasimu dengan lebih baik. Tapi ingat! Jangan sampai kejadian seperti itu terjadi lagi!" Ancam sang kakek, seraya melirik lengan Julian yang terlipat. "Satu lagi. Hiduplah lebih terbuka, kau harus memiliki teman dan menjalani kehidupan remajamu dengan lebih normal. Ini salahku, harusnya aku membiarkanmu berbaur dengan kawan seusiamu. Kau tidak menjawab ucapan kakekmu?" Ketus kakek, menatap Julian dengan merengut kesal.

"Yas, Pa!" Seru Julian dengan wajah kesalnya.

Namun, kekesalan itu malah membuat sang kakek tersenyum lebar. "Kau sudah bisa menunjukkan eskpresi kesal seperti ini?" Kakek mencubit dua pipi Julian, yang ditolak keras oleh remaja itu.

"Pa! Aku sudah dewasa! Jangan perlakukanku seperti bayi!" 

Kakek tertawa keras, terus menepis lengan sang cucu yang memberontak menjauhkan tangannya. "Baiklah, ayo kita pulang." Geram sang kakek, seraya bangkit berdiri dengan menekan pinggang tuanya. "Auhh... usaiaku semakin sedikit."

Suara kepakan sayap burung kembali terdengar, Julian mengelurkan biji kacang yang disembunyikan di dalam kantung hoodie dan menyodorkannya pada burung tersebut. Bibirnya menyunggingkan senyuman, mengabaikan sang kakek yang berseru.

"Ayo kita lomba. Yang terakhir sampai mobil, harus mencuci piring saat makan malam. Tiga!" Teriak sang kakek, lalu berlari tunggang langgang meninggalkan Julian tanpa menoleh.

"Dia melupakan satu dan dua lagi." Gumamnya.

Julian tersenyum lebar, merasa akan merindukan sosok itu untuk kedepannya. Lalu dia kembali menatap burung yang bertengger di bahu kursi, dan kembali tersenyum. "Aku tidak akan kembali ke rumah sakit ini lagi. Bukankah ini saatnya kau juga harus pergi?"

Julian mendongak menatap langit, menghirup udara yang sering dia sambangi setiap seminggu sekali, untuk terakhir kalinya. Terdengar kepakan sayap yang kencang, dan kicauan yang terdengar sangat berisik, lalu senyap, membuat Julian membuka mata dan sosok burung di punggung kursi, sudah hilang.

Selingkuhan Tuan MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang