Ghina menatap aneh kakak kelasnya itu, setelah dia ingat-ingat itu adalah kakak kelas yang sempat menjadi mentornya saat MOS dulu.
Kakak kelas itu pula yang meneriaki Ghina dan dibalas teriakan pula oleh gadis itu.
"Kak? Kakak sehat?" Tanya Ghina pelan.
Si kakak kelas pun tertawa kecil, "baik kok dek, baik banget malah. Btw, diterima gak nih?"
Ghina melirik ke arah teman-temannya yang sepertinya juga menunggu dirinya untuk menjawab, dari semua temannya hanya satu orang yang mengisyaratkan Ghina untuk menolak.
Raden.
Cuma dia yang daritadi ngasih kode ke Ghina buat nolak confess kakak kelas mereka, mukanya pun juga maksa banget.
Ghina yang memang memegang prinsip, nasihat teman adalah nasihat dari tuhan, maka ia berdehem canggung ke kakak kelas itu.
"Kak, maaf sebelumnya. Tapi boleh kita bicara berdua dulu gak?" Si kakak kelas pun mengangguk kaku.
Ghina dan Abian pun pergi dari sana. Keadaan kantin pun senyap setelah kepergian dua orang tersebut, sampai akhirnya Raden berteriak.
"WOY! WOY! ADA YANG MAU GUE CERITAIN GOSSIP BARU GAK?!"
Kalau sudah begini mah, penghuni kantin auto ramai kembali.
.
.
"Jadi kakak gagal nih?"
Ghina tertawa kecil namun menggeleng cepat, "enggak, kakak gak gagal sama sekali, emang belum waktunya aja."
"Belum waktunya kamu suka sama kakak?" Tanya kakak kelas itu yang dibalas senyuman tipis oleh Ghina.
"Padahal kakak yang dulu sering adu mulut sama aku waktu MOS, eh sekarang malah kakak confess ke aku. Tapi gimana pun juga kita baru kenal kak, dan ada baiknya kalo mau jalin hubungan seenggaknya harus saling kenal satu sama lain lebih dulu, gak asal main pacaran aja."
Abian mengangguk pelan, "iya dek. Anyway maaf ya udah confess di depan banyak orang tadi, pasti kamu malu."
"Haha, gapapa kok, Kak. Kalo gitu aku balik ke kelas dulu ya."
Abian mengangguk, sementara Ghina berbalik badan dan mulai berjalan pergi ke arah kelasnya, gadis itu diam-diam menghela nafas lega karena bisa menolak kakak kelasnya dengan cara baik-baik.
Walau dia sendiri tetap takut kalau Abian sakit hati dengan kata-katanya, tapi dia ingat dengan kata Papahnya.
"Kamu kalo ngambil keputusan itu harus tegas, jangan loyo gitu, nanti dikira kamu cuma main-main."
Ghina menepuk-nepuk kedua pipinya, "harus tegas! Gak boleh loyo!"
"Siapa yang loyo?" Sahut Juan
"Anj—
"Gue aduin bapak lo ye," potong pemuda itu.
Ghina berdecak, "lo ngagetin banget sih anjir, muncul tiba-tiba." Juan menggelengkan kepalanya pelan.
"Gimana? Lo tolak?" Ghina mengangguk.
"Kata Raden suruh nolak." Kening Juan mengerut, "kapan Raden bilangnya?"
"Dia kayak ngasih kode gitu buat nolak, mana mukanya kayak maksa banget nyuruh gue buat nolak." Jawab Ghina membuat Juan tertawa jenaka.
"Si Raden bisa banget nyuruh anak orang nolak confess," ujar Juan.
"Dia kan emang suka nyuruh gue buat nolak confess orang."
"Sama aja kayak lo sendiri anjir!"
.
.
"La," panggil Sadam pada Ella.
"Pulang bareng yuk!"
"Bukannya lo pulang sama anaknya bapak Jenderal?" Bingung Ella
"Ghina dijemput Mamahnya," jawab Sadam seraya menarik Ella pergi menuju ke parkiran motor.
Baru setengah jalan tapi tiba-tiba Ella berhenti mendadak. "Eh eh! Tunggu dulu! Gue kelupaan ngambil Tupperware di kolong meja, nanti diomelin Mamah kalo sampe ketinggalan."
Gadis itu pun segera pergi meninggalkan Sadam dan berlari tergesa-gesa ke kelasnya.
Belum sampai 15 menit, Ella dengan senyumnya kembali datang ke tempat Sadam menunggunya tadi, tapi malah dibuat bingung karena pemuda itu sudah hilang.
"Lah, Sadam kemana anjir?"
Tak lama setelahnya, notifikasi chat masuk dari Sadam.
Sadam
|Sorry ya El, lo pulang sendiri aja
|Gue pulang bareng NayaPokoknya hari ini Ella kemusuhan sama orang yang namanya Naya dan Sadam, titik.
KAMU SEDANG MEMBACA
16 (SIXTEEN)
FanfictionKalau tidak salah, Raden pernah dengar kalau tiap orang akan bertemu dengan jodohnya diumur 16 tahun, yang mana itu adalah disaat masa-masa SMA bukan? Tapi kenapa masa SMA di usianya yang 16 tahun ini tampak sangat suram karena kehadiran gadis bern...