Side Story chapter 4.
"Woi Ghina! Anak Bapak Jenderal! Mau berangkat bareng gue gak?" Teriak Raden dengan suara lantang yang bahkan sampai terdengar ke penjuru komplek.
"Raden bacot deh, gak usah teriak-teriak," balas Ghina sambil memakai sepatunya.
"Kamu mau berangkat sekolah sama dia, Dek?" Tanya Sang Papah
"Iya, emang kenapa? Gak boleh?" Tanya Ghina bingung, ya walaupun sebenarnya dia juga malas berangkat bareng Raden. Di jalan pasti anak itu akan berceloteh panjang lebar berakhir keduanya saling berdebat panjang.
"Ya boleh aja sih, ya udah, hati-hati ya." Ghina mengangguk lalu salim ke Papahnya kemudian menghampiri Raden yang tengah tersenyum sumringah menatapnya.
"Hari ini ongkos tambahin 5 ribu ya, Ghin. Buat bayar bensin," Raden menyerahkan helm pada Ghina, sementara si empu menatapnya sinis.
"Elo yang ngajakin bareng, tapi lo juga yang minta uang ongkos, gimana sih?"
"Anggep aja gue tukang ojek lo, selama ini tukang ojek pasti selalu dibayar kan tiap kerja?" Ghina berdecak malas, "iya iya, buruan berangkat, nanti telat."
.
"Lo tau gak sih? Masa kemarin gue abis dikasih bebek sama bokap gue tau, lucu banget sumpah!" Beritahu Raden antusias. "Halah, bebek doang, gue melihara ayam kampung tuh di rumah. Kata Papah, minggu depan bakal dipotong."
"Ih masa dipotong sih anjir? Gak kasian lo sama ayamnya?" Tanya Raden sok prihatin.
"Ya elah, tujuan gue melihara ayam kampung kan emang buat dipotong nantinya, jadi gakpapa. Nanti hasilnya gue bagi-bagi dah sama lo, sekalian nyiapin satu porsi khusus buat Bang Daniel." Balas Ghina
"Dih, masa buat Bang Daniel doang yang dikhususin, pilih kasih banget lo." Ucap Raden tak terima, Ghina berdecak malas. "Bodo amat, siapa suruh selama ini jahilin gue terus, medning juga spesialin buat Bang Daniel."
"Belum aja lo kena ghosting Bang Daniel," cibir Raden.
"Eh eh, Raden! Hati-hati cuy, abis hujan tadi malem!" Pekik Ghina ketika Raden membelokkan motornya ke jalan pintas yang kondisi jalannya tidak terlalu bagus.
"Iya, tau gue." Ghina memandang sinis ke arah pemuda, "awas aja lo, kalo jatuh ke lumpur, kita unfriend aja."
"Iya elah, berisik bener dah anak Bapak Jenderal."
Beberapa saat kemudian, perasaan Ghina sudah tidak enak ketika Raden mulai melajukan motor melewati becekan dan beberapa bagian jalan yang bolong dan terdapat lumpur.
"Raden anjing! Jangan cepetin motornya, bego! Nanti kita jatoh!" Pekik Ghina sambil memegang bahu Raden, membuat pemuda itu reflek menggoyangkan badannya berusaha melepaskan pegangan Ghina pada bahunya.
Fyi, Raden ini anaknya mudah gelian, sekali pegang bahu saja langsung merasa geli, apalagi saat bawa motor seperti ini. Bisa-bisa Raden reflek melepaskan pegangan pada stang motor.
"Jangan pegang pundak gue anjir! Geli!"
"Ya makanya jangan cepetin motornya anjir, rawan jatoh nanti," tukas Ghina. "Ya iya, tapi pundak gue jangan dipegang atuh, geli!"
Ghina pun melepas pegangannya pada bahu Raden. Tapi bukannya menurut, Raden malah menambah kecepatan motornya. Bangsat, dikasih tau kok malah makin melunjak.
"Jangan ngebut heh!" Ghina memeluk pinggang Raden erat, takut kalau malah dia akan terjungkal kebelakang.
Berharap kejadian romantis seperti di drama-drama yang sering Ghina tonton, nyatanya malah Raden memekik geli ketika Ghina memeluk pinggangnya.
"DIBILANG JANGAN PEGANG-PEGANG GUE BANGSAT! ASTAGHFIRULLAH—
BRUKK!
Mereka berdua pun jatuh ke lumpur, dengan keadaan mengenaskan. Ghina tidak merasa sakit tapi dia merasa kotor dan malu disaat yang bersamaan.
"RADEN!!!" Teriak Ghina kesal membuat beberapa orang yang juga melewati jalan itu menatapnya kaget.
"Tuh kan! Aelah, si Raden mah! Dibilang bawa motornya pelan-pelan aja, gimana sih? UNFRIEND BENERAN DEH KITA!" Kesal Ghina lalu berdiri menatap Raden yang mengebug.
"Ya kan udah gue bilang tadi jangan pegang-pegang gue! Lo juga salah!" Balas Raden tak mau kalah. "Tapi kan salah lo juga bawa motornya cepet-cepet, jadinya kan gue reflek meluk lo!"
"Pokoknya ini salah lo!" —Ghina
Raden berdecak, baru saja ingin membalas pada Ghina, tapi seseorang menyeletuk ke arah mereka berdua. "Maaf kakak-kakak, mending sekarang kakak berdua ini pulang dulu ke rumah," ucap seorang ibu-ibu.
Keduanya menghela nafas, Ghina dengan wajah kesal dengan amarahnya, dan Raden yang sudah pasrah dan berdiri menuntun motornya dengan berjalan. Tidak ia naiki, dia takut jatuh ke lumpur lagi.
Ini hari tersial bagi Ghina dan Raden.
.
.
"Woy! Lo kemana anjir? Kok kagak sekolah? Bolos lo sama Raden?" Tanya Rihanna
"Ya kagak lah anjir! Abis kecelakaan gue sama Raden,"
"Hah? Kecelakaan?!"
"Bukan kecelakaan juga sih, gue sama Raden habis jatoh ke lumpur." Jawab Ghina dengan nada pelan.
"JATUH KE LUMPUR? BWAHAHAHAHAHAHA ANJIR BISA-BISANYA! JUAN JUAN! MASA RADEN SAMA GHINA JATOH KE LUMPUR ANJIR!"
"Ck, bacot deh lo."
"Beneran, Ghin? Hahahaaha, pap coba." Kini giliran Juan yang meledeknya.
"Si babi, malah minta pap, bego banget deh."
"Hahaaha, sorry sorry. Terus gimana ini kalo guru nanya lo sama Raden kemana, masa iya gue harus bilang kalo lo berdua abis jatoh ke lumpur?"
"Ya jangan lah! Bilang aja gue lagi sakit terus si Raden izin."
"Oke, by the way gue serius lo yang soal minta pap hahaha—
Tutt.
Ghina langsung mematikan panggilan telepon tersebut, kesal dengan Juan yang terus menggodanya, dasar bocah gedeng.
"Lagian kamu bisa-bisanya sih, Dek, jatuh ke lumpur." Sahut Papahnya.
"Ya ini mah salah si Raden, Pah. Dia bawa motornya kecepetan, mana jalanannya kan licin, aku takut jomplang, terus refleks meluk dia."
"Astaghfirullah, kamu meluk Raden, Dek? Ih, kan bukan mahram, gimana sih?" Ujar Sang Mamah.
"Ya namanya juga refleks, Mah, mana inget aku kalo aku sama Raden bukan mahram."
Sang Papah bergeleng kepala, "besok-besok kalo jalanannya becek, minta anterin Bang Daniel aja, si Raden kebiasaan bikin kamu kayak gini deh."
.
Sementara di rumah Raden, pemuda itu sudah diomeli habis-habisan oleh Bundanya. "Aduh aduh, bisa-bisanya sih kamu pulang-pulang kayak gini? Bukannya nyampe ke sekolah malah balik pulang, kena lumpur lagi!"
"Namanya juga gak sengaja jatuh," balas Raden pelan.
"Ya makanya hati-hati atuh, terus itu gimana sama Ghina? Dia juga kena lumpur?"
"Iyalah, kan jatohnya bareng-bareng," jawab Raden santai.
"Astaghfirullah, Raden! Kamu nih ya, bisa-bisanya bikin anak orang kayak gitu, mana Ghina juga ikutan kena lagi. Mau ditaruh dimana muka kamu abis ini di depan Bapak Jenderal? Kerjaan mu kok malu-maluin diri sendiri terus? Heran Bunda."
"Yaudah lah, Bun, lagian Papahnya Ghina juga gak ngamuk ke aku, ngapain juga harus malu?"
"Hilih, awas aja ya kamu kalo sampe si Ghina gak dibolehin deket sama kamu lagi gara-gara kejadian ini, kesempatan Bunda buat dapet menantu cantik kayak dia jadi harus kebuang sia-sia."
Raden berdecak malas, lalu bergumam, "Kayak Ghina mau sama gue aja."

KAMU SEDANG MEMBACA
16 (SIXTEEN)
FanfictionKalau tidak salah, Raden pernah dengar kalau tiap orang akan bertemu dengan jodohnya diumur 16 tahun, yang mana itu adalah disaat masa-masa SMA bukan? Tapi kenapa masa SMA di usianya yang 16 tahun ini tampak sangat suram karena kehadiran gadis bern...