39) Is it the Answer?

60 10 3
                                        



It hurts to be something
It's worse to be nothing with you

Promise Laufey


***

Sakit, setidaknya itu perasaan Ghina sekarang. 

Gadis itu terduduk di pojokan kasurnya sembari menangis, ini hal memalukan dalam hidup Ghina. Menangisi seseorang yang sudah lama ia rindui dan mengetahui fakta jika orang tersebut sudah tak peduli dengan dirinya.

Dalam hati Ghina terus mengutuk nama Raden dengan segala sumpah serapah. Bahkan hadiah yang Davin katakan dari Raden saja tak kunjung ia buka sejak hari ulang tahunnya. Ghina benci hadiah itu. 

Dan sejak acara ulang tahunnya itu juga, Ghina mengurung diri di kamar, bahkan ia juga mengabaikan teman-temannya. Ella mengiriminya pesan menanyakan apa yang terjadi dengannya tapi Ghina bahkan tak punya tenaga hanya untuk sekadar membalas pesan.

Ghina yakin jika Davin pasti telah memberitahu tentang Raden ke yang lainnya. Jadi ia memutuskan untuk mengabaikan pesan dari teman-temannya. 

Tiba-tiba saja, ponsel Ghina berdering. Ah, ternyata Davin.

Ghina tak berniat mengangkatnya sama sekali, karena Davin pasti sama dengan yang lainnya, hanya menanyakan kabar dan keadaannya. Namun makin lama, telepon dari Davin tak kunjung berhenti membuat Ghina mau tidak mau mengangkatnya.

"Ghina—

"Dav, jangan sekarang, please." Lirih Ghina.

Terdengar helaan nafas panjang Davin, "gue tau lo lagi mau sendiri. Tapi, Ghin, ada yang harus gue omongin sama lo."

"Apalagi yang mau lo omongin lagi sih, Dav? Soal Reisya? Raden? Lo mau bahas soal hubungan mereka berdua ke gue?"

"Enggak, Ghina. Ini tentang lo sama Raden."

.

.

"Gue minta maaf, Raden. Udah kacauin semua hal termasuk hubungan lo sama Ghina. Tapi gue begini karena—

"Cukup, Rei." Potong Raden cepat membuat Reisya terdiam. Pemuda itu menarik nafas panjang, "Gue udah tau alesan lo, dan lo gak perlu jelasin lagi."

"Yang masih gue gak tau adalah, kenapa lo masih aja ikut campurin urusan gue sama Ghina sampai sekarang? Kalo emang karena dulu sikap gue berubah dan gak mau temenan lagi sama lo, gue bener-bener minta maaf. Lo sendiri juga tau kenapa sikap gue bisa berubah. Tapi kenapa lo malah ngelakuin hal yang nggak-nggak karena itu?"

"Karena gue gak suka dia ambil lo dari gue," ucap Reisya.

"Tapi bukan berarti hal itu terus-terusan berlaku sampai saat ini, kan?" 

"Berlaku, Raden. Bahkan alasan kenapa gue kesini itu karena gue mau ketemu sama lo lagi. Tapi kenyataannya, gue malah liat lo sama Ghina barengan lagi dan kalian pacaran." Ucap Reisya pelan. "Dan gara-gara itu gue makin benci sama dia, Den."

"Asal lo tau, Rei. Sikap lo yang begini malah bikin gue gak suka sama lo, lo udah nyakitin Ghina, dan bodohnya gue juga terpengaruh gitu aja sama omongan lo. Yang gue mau sekarang, tolong lo jauhin gue sama Ghina, dan gak usah ikut campur hubungan gue sama dia." Ujar Raden tegas.

Pemuda itu pun bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Reisya sendirian. Raden pikir, ini sudah keputusan yang tepat baginya, bagi ketiganya. Hanya dengan ini, mereka bertiga bisa berhenti menyakiti satu sama lain.

Reisya menangkup wajahnya frustasi, isakan tangisnya tak bisa dibendung. Lagi-lagi semua tak sesuai dengan harapannya, dan lagi-lagi Raden membencinya. 

"Mah, sakit banget." Lirih Reisya disela-sela isakannya.

 .

Raden tahu ia jahat, sangat jahat. Entah pada Ghina maupun pada Reisya. Tapi nyatanya, ia sendiri juga tidak bisa terus-menerus dalam posisi bersalah. 

Setelah satu bulan menjauhkan dirinya dari Ghina, Raden pikir ia bisa menenangkan pikirannya sejenak dan akhirnya membuat keputusan untuk hubungannya dengan Ghina. Tapi nyatanya semua diluar kendalinya.

Jauh dari Ghina justru membuat pikirannya semakin kacau, semua hal dipikirannya berubah menjadi abu-abu ketika ia mengingat kembali apa yang telah terjadi dalam hubungan mereka berdua. Raden telah menghancurkan semua hal.

Dan sekarang ia sadar, ia harus menyelesaikan semua hal ini. Sejujurnya Raden benci menjadi penjahat, namun yang ia lebih benci adalah ketika menyadari bahwa ia menjadi penjahat bagi Ghina.

Itu sebabnya, ia berada disini sekarang. 

Senyum Raden menyendu ketika melihat mobil putih yang datang mendekat ke arahnya, dan tak lama kemudian Ghina keluar dari mobil tersebut. Ghina sendiri menahan dirinya untuk tak kembali masuk ke mobil, hatinya terasa sakit melihat wajah Raden.

Namun mengingat pesan Davin, gadis itu mengurungkan niatnya. Ia berjalan pelan mendekati Raden yang tampak murung seperti dirinya. Bahkan keadaan keduanya tidak jauh dari kondisi yang berbeda.

"Ghina," ucap Raden pelan namun berhasil membuat Ghina berhenti.

Raden tersenyum miris, "maaf ya." 

"Lo jahat, Raden." Ucap Ghina dengan nada gemetar, berusaha menahan air matanya.

"Gue tau, maaf. Maaf udah jadi orang jahat buat lo, maaf karena gak pernah bisa jadi Raden yang sama kayak yang dulu." Ucap Raden sendu.

"Gue kecewa, Den. Gue pikir walau hubungan kita udah sekacau ini, lo masih mikirin gue, seenggaknya. Gue pikir lo masih sedikit berusaha perbaikin hubungan kita, tapi nyatanya lo malah kabur dari masalah kita." 

"Bahkan lo udah gak peduli lagi sama gue, lo gak dateng ke ulang tahun gue

"Gue gak mau bikin lo sedih, Ghin." Mata Ghina seketika langsung bersitatap dengan mata Raden. 

"Itu hari ulang tahun lo, gue gak mau kacauin hal yang paling lo tunggu selama ini."

"Tapi lo yang selama ini gue tunggu, Raden."

Raden seketika menunduk begitu mendengar jawaban Ghina, ia menahan diri untuk tidak emosional, namun seluruh perkataan Ghina justru malah meruntuhkan pertahanannya.

"Selama ini, gue selalu nunggu lo dateng ke gue, entah minta maaf atau apapun itu. Gue juga selalu kirim lo text ataupun nelpon tapi gak pernah ada yang lo bales. Lo bikin hubungan kita semakin jauh, Den. Dan sekarang gue bingung, apalagi yang harus gue harapin ke lo?"  Tanya Ghina terisak.

"Gue sadar cara gue salah, Ghin. Awalnya gue pikir, kalo gue ngehindar sementara dari lo, gue bakal nemu jalan keluar buat semua ini. Tapi ternyata cara gue malah makin nyakitin lo, dan gue gak sanggup kalo harus begitu terus." Raden menghela nafas panjang berusaha tetap bertahan pada pendiriannya.

"I think, we should break up, Ghin." 

Perkataan itu lolos begitu saja dari bibir Raden, membuat hati Ghina mencelos mendengarnya. Air mata gadis itu tumpah begitu saja, isakannya semakin jelas namun tetap ia tahan sekuat mungkin.

"Gue gak mau nyakitin lo lagi," ucap Raden pelan.

Tanpa pikir panjang, kaki Ghina mulai mundur perlahan. Gadis itu mulai kehilangan keseimbangan tetapi kepalanya masih menggemakan seluruh perkataan Raden.

"Gue harap, ini jadi terakhir kali kita ketemu." Ucap Ghina sekuat tenaga kemudian langsung pergi menuju mobil. 

Begitu melihat Ghina yang menangis, Davin langsung melesatkan mobil pergi, menjauh dari tempat tersebut. Dari yang ia rasakan, Ghina dan Raden benar-benar sudah selesai, dan tidak ada yang akan menyangkal hal tersebut lagi.

Raden terhuyung ke belakang, pikirannya langsung kosong begitu saja. Ia tak menyangka akan semenyakitkan ini, rasanya seperti hatinya diremas begitu saja. Begitu pula dengan hubungannya.

Semua sudah selesai.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

16 (SIXTEEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang