Demam adalah satu dari sekian sedikitnya hal yang Riana benci. Bagaimana tidak, walau gadis ini termasuk gadis yang memiliki hati lapang dan menerima segala hal–baik atau buruk–dengan tulus, tapi itu bukan berarti Riana takkan mengeluh jika sudah berhadapan dengan musuh yang satu ini.
Riana mengerang pelan saat kepalanya berputar hebat ketika dia mencoba menolehkan pandangan. Tubuhnya rasanya seperti terbakar oleh panas yang dihasilkan sistem metabolismenya. Walau menurut apa yang ia tahu tubuhnya sedang memanaskan diri demi melawan virus yang menyusup ke tubuhnya, tapi entah kenapa Riana merasa tubuhnya-lah yang sedang melawan panas itu.
Tanpa sengaja netra matanya menangkap sesosok gadis berusia dua belas tahun yang kini sedang menatapnya dengan raut muka teramat khawatir. Di tangannya ada handuk dan di nakas meja sebelah kasur Riana ada sebuah baskom berisi air. Sesekali gadis itu mencelupkan handuk di tangannya ke baskom dan memerasnya. Setelah itu, gadis itu menempelkan handuk basah–dan pastinya dingin itu–ke dahi Riana, berharap panasnya turun dengan bantuan dinginnya air.
"Ma-na," bahkan untuk sekedar memanggil nama gadis yang sedang mengompresnya, Riana agak kesulitan. Tenggorokannya yang kering terasa amat serak hingga dia bicara putus putus. "Ayah dan Ibu."
Mana–nama gadis itu–nampaknya paham apa yang coba kakak perempuannya sampaikan. Setelah kembali memeras handuk, Mana meletakkan handuk itu di dahi Riana sambil berkata, "tenang, Kak. Ayah dan Ibu pulang nanti."
Riana mengerutkan kening mendengarnya. Tentu saja begitu, Ayah dan Ibu akan pulang beberapa saat lagi, mungkin Mana tak menyadari itu.
"Jam-nya," Riana berkata lemah.
"Ayah dan Ibu akan pulang jam lima. Kita masih punya–" dan sayangnya ketika Mana mengalihkan pandangannya ke jam dinding yang berada di kamar kakaknya, jarum jam sudah menunjukan pukul lima lebih lima menit.
Sudah lewat lima menit. Hanya butuh beberapa detik lagi untuk Ayah dan Ibu sampai di rumah. Pikiran itu berhasil membuat Mana berhenti sekejap dari kegiatannya menghawatirkan kakak perempuannya yang sedang terbaring lemah di kasur.
"Ka-kak," cicit Mana lirih nan merasa bersalah. "Sebentar lagi Ayah dan Ibu–"
"Pergilah," Riana tak mau mendengar apa yang ingin diutarakan adiknya. Dia sudah tahu, jadi tak perlu baginya mendengarnya kali ini. "Aku tak apa apa. Pergilah."
Sebelum keluar kamar, tak lupa Mana menatapnya dengan pandangan kelewat khawatir. Matanya berkaca kaca ketika melihat kakaknya menatap dirinya dengan tatapan lemahnya. Setelah menahan napas dan menghapus mata berkaca kacanya, gadis dua belas tahun itu segera pergi dari kamar Riana, kakak perempuannya.
Tapi sebelum dia pergi, dia menoleh ke pojok ruangan dan menatap seseorang yang ada di sana.
Seorang pemuda, dengan kue yang sudah setengah habis di hadapannya.
"Sebenarnya aku sangat sangat tak sudi meminta tolong padamu. Tapi kali ini saja, tolong jagakan kakakku."
Setelah itu sosoknya menghilang dibalik daun pintu yang ditutup.
Hening menggantung sejenak di antara mereka berdua. Pemuda itu bangkit dari kursinya, meninggalkan kue dan berjalan ke arah kasur di mana Riana terbaring.
"Dasar adik perempuan kurang ajar. Bisa bisanya dia bersenang senang bersama kedua orang tuanya sementara di sini kakak perempuannya terbaring sakit," gusar pemuda itu sambil menjatuhkan pantatnya ke kursi tempat tadi Mana duduk.
Hening menggantung sejenak sebelum akhirnya netra pemuda itu menatap Riana yang kini tergolek kesulitan mengatur napas dan mencoba meredakan demamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karmalia : Ramalan Takdir
FantasySemuanya menjadi kacau ketika hari ulang tahun Riana yang ke empat belas. Sakit yang hampir saja merenggut jiwa dan kesadarannya menbuatnya berhalusinasi bahwa dirinya benar benar tak waras saat itu juga. Memangnya siapa yang akan menyangka kalau Ri...