Riana kecil kini sedang memandang langit gelap di atas sana. Bintang-gemintang sekarang tersembunyi di balik awan-awan kelam. Pun sama dengan rembulan. Ketiadaan mereka di malam ini mampu menularkan mendung ke hati Riana.
Tapi bukan demi bintang bintang dia berdiri di sini. Bukan juga demi sang bulan. Dia kini berdiri di balkon, hanya dengan mengenakan pakaian tipis, adalah untuk menunggu kedatangan seseorang. Nyatanya dinginnya malam yang menggigit khas pegunungan sama sekali tak membuat pikirannya menyuruh tubuhnya untuk masuk.
Lima menit kemudian, orang yang ditunggu tunggu datang.
"Kau menungguku?" Pemuda itu selalu menanyakan hal yang sama ketika datang dan melihat Riana berdiri di balkon. Dan untuk kesekian kalinya, Riana mengangguk. Dan sebenarnya pemuda itu tak habis pikir, kenapa pula gadis kecil ini rela menunggunya di luar dengan suhu dingin begini.
"Udara di luar dingin, cepatlah masuk sebelum hujan datang," kata Riana sambil menarik baju pemuda itu, menyuruhnya turun dari pagar balkon.
Tembok balkon? Ya, benar benar pagar balkon. Pemuda itu muncul entah dari mana, lantas mendarat di pagar balkon lantas turun dan kembali mendarat sempurna di lantai balkon. Awalnya saat melihat itu Riana ketakutan bukan main. Bagaimana tidak, balkon ini berlokasi di lantai dua. Apakah artinya pemuda itu melompat begitu saja? Atau jangan jangan memanjat?
Lalu, dia muncul tiba tiba. Itu juga hal yang membuat Riana kaget. Tapi setelah sekian waktu, Riana akhirnya mulai terbiasa dengan itu semua.
Sepertinya kata kata yang keluar dari mulut Riana adalah doa. Tak lama kemudian, seperti yang Riana katakan, hujan segera turun dengan deras. Tanpa gerimis dan rintikan-rintikan lembutnya, yang turun dari langit bagai ember raksasa yang sengaja ditumpahkan di atas bumi, deras sekali. Dengan cepat suhu menjadi lebih dingin lagi, dan keduanya terkena percikan air hujan yang terbawa angin.
"Cepat masuk ke dalam!" seru Riana sambil menarik jubah hitam yang selalu pemuda itu kenakan. Riana bersusah payah karna pemuda itu enggan sekali beranjak dari tempatnya berdiri. Tapi pada akhirnya dia bergerak juga. Senyum tipis menghiasi bibir pemuda itu, senang rasanya melihat Riana kerepotan karna dirinya.
Riana segera masuk ke kamar sambil menarik pemuda itu. Tentu saja tarikan Riana kecil tak ada apa apanya. Untungnya. Pemuda itu cukup berbaik hati hingga tak membiarkan Riana tetap berdiri di tempat karna tak kuat menariknya.
Dengan cepat Riana menutup pintu balkon, memastikan tak ada udara dingin dan air yang masuk ke kamarnya.
"Kau kedinginan?" tanya Riana setelah dia beres mengecek semuanya. Dia kini mengambil tempat tidur sebagai tempat duduknya, menarik selimut dan menggelungkannya di sekitar tubuh mungilnya. Baju Riana agak sedikit basah, tapi dia sedang malas berganti baju. Dia tak masalah dengan basah itu. Lagipula itu hanya sedikit.
"Aku tak selemah itu hingga harus kalah dengan dingin," katanya angkuh sambil melambaikan tangan. Dan ketika dia melambaikan tangannya, seketika angin hangat muncul di kamar itu tanpa Riana tahu sumbernya. Yang Riana tahu angin itu berputar dengan pemuda itu sebagai pusatnya. Seketika butiran air dan segala macam basah di pakaian pemuda itu segera menghilang. Dia kembali kering, tan tentunya tak merasa kedinginan.
Riana terkagum melihatnya. Dia masih tak terbiasa dengan banyaknya fenomena absurd yang terjadi di sekitar pemuda itu. Pernah dirinya hendak bertanya, tapi batal karna tiba tiba entah kenapa dia teringat nasehat Bibi yang merawatnya bahwa tak semua harus ditanyakan. Terkadang ada hal yang tak boleh diketahui sebelum waktunya. Dan Riana memutuskan kalau dirinya dengan umur jagung belum boleh bertanya hal hal mistis seperti itu.
"Aku juga ingin merasakannya," Riana berkata jujur. Di bawah selimut dapat dia rasakan tubuhnya gemetaran karna dingin. Riana benci ini. Tubuhnya memang akan langsung gemetaran jika tersentuh udara dingin. Padahal hanya karna hujan di luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karmalia : Ramalan Takdir
FantasySemuanya menjadi kacau ketika hari ulang tahun Riana yang ke empat belas. Sakit yang hampir saja merenggut jiwa dan kesadarannya menbuatnya berhalusinasi bahwa dirinya benar benar tak waras saat itu juga. Memangnya siapa yang akan menyangka kalau Ri...