"Papa?" Iodan berkata tak percaya. "Hei, sejak kapan kau punya anak hah?! Aku saja tak tahu kalau kau beristri!"
Iodan memarahi gurunya. Memarahi? Entahlah, nadanya memang seperti memarahi. Tapi bagaimana bisa murid memarahi gurunya?
"Mana kutahu. Dia bukan putriku!" Bentak gurunya.
"Okh, sekarang kau hendak tak mengakui putrimu sendiri?" sinis Iodan. Ternyata Riana membawa masalah ini menjadi serius. "Hei kau, tetaplah bersamaku," katanya pada Riana. "Jangan ke sana, Papamu tak mengingatmu."
Riana yang memang masih berada di gendongan Iodan tak bergeming. Dia sekarang ingin dengan Iodan saja. Karna itulah dia mengencangkan tangannya yang mengelilingi leher Iodan.
"Hei anak kecil," sapa sang guru lebih baik. Tapi nyatanya kemarahan Iodan tak menurun dengan itu. "Minggir, Pak Tua. Kami hendak istirahat dulu."
Setelah itu Iodan berjalan melewati gurunya dengan Riana di gendongannya. Gurunya hanya menghela napas, sebelum mengikuti muridnya dari belakang.
"Apa informasi yang kau dapat?" memilih mengabaikan kecanggungan yang Riana sebabkan, Sang Guru mulai membuka percakapan.
"Tak ada info penting yang kudapat." kata Iodan. Riana fokus mendengarkan, dia mungkin bisa mendapat informasi dari percakapan dua orang dewasa ini.
"Ya, itu karna kau selalu melewatkan hal hal penting." sindir sang Guru.
"Seperti?"
"Seorang wanita muda mata-mata dari Blok Selatan. Kemarin aku berhasil menangkapnya," sang guru melambaikan tangan. Begitu mendengar hal itu, Riana merinding. Apa yang mereka maksud?
"Menangkap? Yang benar saja." Iodan mendesis. Dia tahu kalau gurunya sedikit berbohong, atau lebih tepatnya mengubah kenyataan.
"Baiklah, jujur aku langsung membunuhnya. Namanya Valya, kau pasti langsung mengenalinya 'kan? Dia tangan kanan Douglass. Wanita muda dengan kulit coklat."
Serasa ada yang mengaduk aduk perut Riana. Apa yang tadi mereka bicarakan? Mereka bicara seolah olah mereka berhasil menangkap dan membunuh Valya. Padahal di kenyataannya Valya bukanlah orang selemah itu. Apakah mereka membunuh Valya? Tentu tidak 'kan?
Riana mencoba menyangkal kenyataan yang berkecamuk di kepalanya. Dan tanpa Riana ketahui, tangannya sudah gemetaran.
"Hei nak, kau baik baik saja?" tanya Iodan yang merasakan getaran kecil Riana. Lidah kecil Riana awalnya keluar untuk menjawab. Hingga dia akhirnya berkata.
"Aku benci peperangan."
"Kita semua membencinya" kata sang Guru. "Tapi kita tak bisa mengelak darinya. Masih lebih baik dirimu yang tak langsung terjun ke medan perang. Ada orang orang yang langsung terjun, kau harus menghormati mereka."
Riana tak bisa menyangkal kata kata itu.
Dan lagi lagi, Riana kehilangan orang yang penting di medan perang. Valya. Penjaganya. Lantas setelah ini, siapa yang perang akan rebut darinya? Seperti kata kata Zaganos waktu itu, mungkin saat ini hanya Lia, lalu Valya, kemudian siapa? Apakah pada akhirnya Zaganos akan masuk ke daftar itu? Begitu pula dirinya?
"Ngomong-ngomong nak, siapa yang mengajarimu memanggilku Papa?" tanya sang Guru yang mampu memecah keheningan yang dibuat Riana. Riana yang tadinya hendak terbawa arus kesedihan seperti menemukan kembali cara untuk selamat. Riana terdiam sebentar, memikirkan jawaban dan akhirnya hanya bisa membeo.
"Papa!" serunya kembali. Sang Guru menepuk dahi, Iodan malah senyum-senyum sendiri.
"Aku tahu kau diperintah seseorang. Siapa yang memerintahkanmu memanggilku Papa?" ulang sang Guru. Dan lagi lagi Riana menjawab. "Papa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Karmalia : Ramalan Takdir
FantasySemuanya menjadi kacau ketika hari ulang tahun Riana yang ke empat belas. Sakit yang hampir saja merenggut jiwa dan kesadarannya menbuatnya berhalusinasi bahwa dirinya benar benar tak waras saat itu juga. Memangnya siapa yang akan menyangka kalau Ri...