Demam adalah penyakit yang Riana paling benci, kali ini Riana akan langsung menyangkal hal itu. Karna bagaimanapun, kali ini Riana bisa merasakan sakit yang membuatnya lebih menderita tenimbang terkena demam. Apalagi jawabannya kalau bukan tertembak peluru timah?
Riana lagi lagi mengerang kesakitan bahkan saat kelopak matanya belum membuka. Rasa sakit dan gatal di dadanya bahkan merasuk hingga sukmanya, membuat dirinya bermimpi buruk.
Dan ketika dirinya perlahan membuka matanya, hanya rasa sakit yang menusuk yang langsung menyambutnya. Riana kembali mengaduh, mengerang hendak bergerak ke sana kemari hanya demi meredakan rasa sakit.
"Jangan bergerak."
Netra Riana mengerjap pelan. Kabut kabut di kepalanya perlahan menipis dan menghilang, menampakkan seorang gadis muda seusianya yang menatapnya khawatir.
Gadis itulah yang tadi menyuruhnya agar tak bergerak. Seorang gadis dengan usia yang mungkin sama dengannya. Tangan gadis itu berlumuran darah, di tangannya ada gunting dan perban.
"Entah keajaiban apa, untung saja pelurunya tak sampai ke jantungmu," ujar gadis itu sambil merapihkan perban yang terpasang di dada Riana. Riana kembali mengerjap ketika menyadari gadis itu sedang melilitkan perban untuk luka di dadanya.
"Si-apa?" tanya Riana lirih sembari meningkatkan fokus. Siapa dia?
"Aku? Aku Lia." gadis itu berkenalan singkat. "Karmalia."
"Kar-ma-lia?" Riana bertanya memastikan. Nama yang aneh menurut Riana. Belum pernah sekalipun Riana mendengar nama itu sebelumnya.
"Ya."
Jawaban singkat itu mengakhiri pembicaraan singkat mereka. Lia masih saja fokus dengan luka di dada Riana. Tangannya nampak terampil membalut luka dengan perban seolah bocah empat belas tahun ini memang sudah terbiasa.
Sesekali Riana mengaduh, lebih sering lagi dia mengigit bibir menahan sakit. Sumpah, rasa sakit yang menyerang bagian dadanya seolah melumpuhkan semua syaraf di otaknya, membuatnya sekuat tenaga menahan teriakan tatkala Lia fokus mengobatinya.
"Sudah selesai, tapi sebaiknya kau jangan bergerak dulu," ujar bocah berusia empat belas tahun itu sambil membilas tangannya dengan air. Tangannya yang menyentuh air di baskom membuat warna air itu berubah menjadi merah darah. "Lukanya bisa kembali terbuka."
Butuh waktu beberapa menit hingga Riana menyadari apa yang salah dengan keadaannya.
"Dimana?" Riana memandang sekelilingnya. Terasa asing, bahkan udaranya.
"Gua dekat perbatasan."
Sungguh Riana bersumpah dia tak tahu apa yang Lia maksud.
Gua? Dekat perbatasan?
Barulah Riana sadar apa artinya ketika tubuhnya sedikit bergeser. Dibawahnya dapat ia rasakan dengan jelas ada tanah berpasir. Matanya menatap awang awang, segera mendapati langit langit gua yang terbuat dari batu berlumutan.
Pandangannya kembali berputar saat dia menggerakkan kepalanya demi menatap dari mana sumber cahaya keorenan yang kini menimpa tubuhnya. Rasa hangat juga perlahan menjalar, mencoba menenangkan kaki dan tangannya yang sedari tadi menggigil, mungkin karna kedinginan.
Dilihatnya gadis itu, alias Lia sedang membuat sebuah api unggun. Awalnya kecil, tapi segera membesar dan menghangatkan seisi gua.
"Kau sudah tak makan tiga hari, kau pasti lapar sekarang. Aku akan membuatkan makanan untukmu," gadis itu tak meminta pendapat, bergegas meletakkan panci di atas api dan mengeluarkan berbagai bahan makanan mentah. Tangannya cekatan mencincang dan memotong bahan, lantas memasukkan bahan makanan itu setelah dirinya terlebih dulu mendidihkan air. Tak lupa dia memasukkan bumbu bumbu penyedap rasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karmalia : Ramalan Takdir
FantasySemuanya menjadi kacau ketika hari ulang tahun Riana yang ke empat belas. Sakit yang hampir saja merenggut jiwa dan kesadarannya menbuatnya berhalusinasi bahwa dirinya benar benar tak waras saat itu juga. Memangnya siapa yang akan menyangka kalau Ri...