Bab 3 : Berada di penjara musuh

86 16 0
                                    

Tubuh Lia limbung ketika dirinya tak sengaja menyandung batu yang luput dari pengawasannya. Tapi untung saja refleknya cepat. Bahkan dengan beban tubuh Riana di punggungnya, dia berhasil menahan diri untuk tidak jatuh.

"Tinggalkan saja aku sendiri, jika itu merepotkanmu," sebuah suara masuk ke gendang telinga Lia, berasal dari punggungnya.

Lia mendengus, sama sekali tak hendak mendengarkan. Menajamkan pandangan, dia terus berjalan di gua gelap tanpa satupun titik penerangan. Untung saja kakaknya pernah mengajarinya beberapa tehnik melarikan diri, tak disangka itu akan terpakai sekarang. Walaupun pada akhirnya, dia takkan merasa berterima kasih atas semua ilmu dari kakaknya.

"Mereka semakin mendekat, tinggalkan saja aku sendiri di sini dan kau kaburlah."

Mendengar itu Lia berdecak sebal. Ia juga tahu musuh yang mengejar semakin dekat, jelas dari pancaran sinar senter yang berkelebat ke sana kemari di dalam gua.

"Aku sudah bilang aku akan menyelamatkanmu, jadi jangan ucapkan omong kosong dan tutup mulut berisikmu itu," ujarnya ketus ketika lagi lagi Riana yang sekarat di punggungnya mengingatkannya tentang musuh yang kian lama kian mendekat.

Sekarat? Ya, Riana benar benar sekarat saat ini. Tubuh panasnya seolah akan menguapkan air jika segelas air digunakan membasuh dirinya. Napasnya yang memburu kian menambah tingkat kekhawatiran Lia yang menggendongnya. Lebih dari itu, Riana juga nampak pucat layaknya orang yang tak punya lagi napas.

Lia harus secepatnya kabur membawa Riana di punggungnya. Dia harus sampai di rumah dengan berbagai alat penyembuhan agar dirinya bisa mengobati gadis demam di punggungnya.

Tapi harapan itu segera pupus ketika dirinya mendengar gaung teriakan dari belakang, tempat para musuhnya mengejar.

"Itu dia!! Kejar dua gadis itu!!" seru seseorang di belakang mereka.

Riana menoleh cepat, memastikan dimana musuhnya berada. Lebih terampil dari Riana, Lia bahkan langsung berlari tanpa repot repot mengecek di mana musuh berada.

"Lia, mereka mendekat!!" seru Riana panik saat dengan jelas melihat senter berserta orang orang yang memegangnya. "Cepat!"

"Iya, aku tahu," desis Lia marah, tak terima dirinya diteriaki orang di punggungnya. Padahal badannya sepanas ini, tapi bisa bisanya gadis di punggungnya itu berteriak keras seperti tadi.

Dooorrr....

Lagi lagi suara itu terdengar, membuat Riana merinding teringat timah panas yang menembus dadanya. Peluru itu mendesing, meluncur cepat dengan Lia dan Riana sebagai target. Karna Riana berada di punggung Lia, otomatis Riana menjadi tameng hidup Lia yang melindunginya dari segala serangan dari musuh di belakang.

Brrak!

Peluru timah itu menabrak salah satu batu besar yang melintang di tengah goa. Lia berhasil menghindari batu sekaligus menghindari pelurunya.

"Lia, cepat! Musuh punya senjata api, kita harus lebih cepat!" teriakan Riana yang berada di sebelah telinga Lia membuat Lia jengkel bukan kepalang. Sudahlah dikejar musuh, direcoki dengan tembakan api, sekarang adapula beban dipunggungnya yang selalu menyuruhnya lebih cepat. Lia jelas tertekan menghadapi semua hal itu.

Doorr....

Lagi lagi letusan tembakan api terdengar, disusul teriakan musuh. "Berhenti di sana, kalian berdua! Kalian telah melanggar hukum perbatasan!"

Tapi memangnya siapa yang akan memenuhi seruan itu? Jelas tak ada. Lia maupun Riana masih merasa terlalu muda untuk mati sekarang.

Peluru mendesing, meluncur cepat. Lia melompat ke kanan mengikuti insting. Tapi sayangnya gerakannya kurang tangkas, peluru itu lebih cepat. Akhirnya peluru itu berhasil menyerempet lengan kiri Riana.

Karmalia : Ramalan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang