"Aku tak bisa kembali?" tanya Riana tergagap. "Apa maksudmu?!"
"Seperti yang kukatakan sebelumnya, Riana. Buku itu yang membawamu kemari, jadi buku itu juga yang akan mengembalikanmu ke dunia asalmu, Bumi."
"Bagaimana caraku membuatnya mengembalikanku?"
"Ikuti saja kisahnya, kau akan kembali ke duniamu di akhir cerita."
"Akhir cerita, apa lagi maksudmu?"
Mendengar pertanyaan Riana, Fadwa mengangkat bahunya. Dia juga tak mengerti. "Hanya pemilik Buku Masa Depan yang tahu."
Tepat ketika mendengar itu, Riana berdiri reflek dan tanpa ampun memukul meja. Pukulan yang keras. Tapi bukannya merusak meja, Riana malah membuat tangannya perih tak tertahankan.
"Omong kosong apa yang kau ucapkan," Mia kembali buka suara. Dia berkata geram.
"Jangan dengarkan mereka, Riana. Mereka hanya mencoba memanfaatkanmu," Nia memegang kedua lengan Riana kuat-kuat, mencoba menenangkan.
"Itu bukan omong kosong, itulah kenyataannya. Dia takkan bisa kembali sekarang bahkan jika dia menangis memohon bantuan."
Kejam sekali kata-kata Fadwa. Tapi yang Fadwa katakan memang benar. Dan Riana sayangnya tahu kenyataan itu. Mungkin karna itulah dia memukul meja kuat-kuat, frustasi tak tertahankan dengan fakta tersebut. Riana mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia tahu Fadwa tak berbohong dan dia marah karnanya. Dengan perasaan teramat kesal, dia membanting pantatnya dan kembali duduk.
"Jadi sekarang apa pilihanmu, Riana. Apakah kau akan membantu kami, ataukah kau akan berdiam diri?" Mendapat pertanyaan itu dari Fadwa, Riana menggigit bibirnya.
Dia membenci dunia ini. Dunia yang merebut Lia dan Valya, dan dunia yang mengubah Zaganos menjadi sang Pengkhianat. Dia muak dengan perang ini. Sekarang tak sedikitpun Riana pikirkan tentang dunia ini. Dan kini Fadwa meminta Riana membantu salah satu blok? Itu sungguh keterlaluan.
"Aku takkan membantu siapapun," putus Riana. Dia menatap tajam Fadwa, memintanya menghargai keputusannya. "Aku akan terus bersembunyi, di sini. Dan kalian sama sekali tak bisa memaksaku, atau kalian akan berhadapan dengan Spirit itu."
Setelah itu hening. Fadwa menghela napas, nampak menerima keputusan Riana. Iodan hendak protes tapi batal. Mia dan Nia jelas tak berkata apapun lagi.
o0o
Sekarang kelimanya sedang melaksanakan ritual pagi, apalagi jawabannya kalau bukan sarapan. Setelah perdebatan panjang kemarin, semua orang setuju untuk istirahat dan mengulur waktu demi menjernihkan pikiran. Khususnya bagi Riana sang pihak terkait. Ia jelas membutuhkan waktu untuk menimang-nimang kembali keputusannya. Walaupun pada akhirnya Riana yakin kalau tak ada putusan hatinya yang berubah.
Dan di sinilah, ke-empatnya kembali mendiskusikan apa yang sebenarnya terjadi kemarin.
"Mia, Nia, bagaimana bisa kau tiba di Blok Utara dan menyelamatkanku?" ingin bersikap waspada, Riana mulai mengintrogasi keduanya. Dipikir dari manapun aneh, kemarin mereka bertanya tantang Spirit seolah memang tak tahu makhluk yang bernama Spirit. Tapi kalau memang itu yang terjadi, bagaimana bisa Spirit itu berkomunikasi dengan dua saudari ini lewat letusan kembang api? "Apa Douglass yang memerintahkan kalian?"
Seperti biasa, sebagai juru bicara, Nia menghentikan sejenak kegiatan sarapannya dan menatap Riana lamat-lamat. "Bukan Douglass yang memerintahkan kami."
Fadwa menyimak cermat. Dia menaikkan alisnya mendengar pernyataan Nia. Nyatanya dia juga terkejut mendengar bahwa bukan Douglass yang ingin menyelamatkan Riana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karmalia : Ramalan Takdir
FantasySemuanya menjadi kacau ketika hari ulang tahun Riana yang ke empat belas. Sakit yang hampir saja merenggut jiwa dan kesadarannya menbuatnya berhalusinasi bahwa dirinya benar benar tak waras saat itu juga. Memangnya siapa yang akan menyangka kalau Ri...