Bab 15 : Cerita tentang kesedihan Douglass

25 4 0
                                    

Riana menatap cermin di depannya. Cermin itu jernih, memantulkan sosok menyedihkannya. Matanya bengkak dan menghitam karna terlalu banyak menangis dan kurang tidur. Setelah percakapan itu, Riana sama sekali tak bisa tidur dan menghabiskan waktu malamnya hanya untuk menangis dan meratapi apa yang terjadi.

Dia sadar keputusan Douglass tak akan pernah berubah. Douglass sudah tetap dengan keputusannya. Dan keberangkatannya ke daerah musuh takkan terelakkan. Teringat kembali percakapannya kemarin.

"Kami akan menyusupkanmu ke Blok Utara. Kau akan menjadi mata mata kami di sana," terang Douglass lebih lanjut tanpa harus memikirkan perasaan Riana. Padahal di hadapannya Riana masih berkaca kaca, tapi nyatanya Douglass tak peduli. Dia memilih tak mempedulikan penolakan Riana.

"Kenapa harus aku?" tanya Riana pada akhirnya. Douglass tentu saja tak kekurangan mata mata untuk dikirim hingga harus mengirimkan gadis awam seperti Riana untuk mengemban misi penting ini. Dan di antara sekian banyak manusia yang berada di Blok Selatan, kenapa harus dirinya?

Douglass terdiam sesaat sebelum akhirnya menghela napas dan mulai bercerita. "Karna kau punya hubungan baik dengan Zaganos. Kau punya peluang mendekatinya."

"Menangnya tahu apa kau tentang hubungan kami?! Aku telah membunuh adiknya, Lia. Dan sekarang kau berkata kalau aku punya hubungan baik dengannya? Jangan bercanda!" bentak Riana marah. Emosinya benar benar menjadi labil sekarang, khas sekali anak muda.

"Riana, bukan kau yang membunuhnya. Tapi aku," aku Douglass.

"Tapi karna diriku, dia mati. Bukankah wajarnya dia akan membenciku?"

"Dia takkan membencimu. Karna bagaimanapun, dia sama sekali tak berpikir kalau kaulah yang membunuh adiknya, melainkan akulah orangnya."

Setelah mendengar itu, Riana terdiam. Dia sama sekali tak bisa menyangkal.

"Apakah kau ingin memanfaatkan hubungan kami?" tanya Riana lirih. Hatinya masihlah berdenyut sakit.

"Ya. Kami akan mengirimmu ke Blok Utara. Tapi sebelumnya aku akan menyamarkan identitasnya agar tak ketahuan Raja Natra. Zaganos, karna dia mengenalmu dan dia juga mantan mata mata hebat, dia pasti akan langsung mengenalimu." Douglass membeberkan rencana. "Kau hanya perlu dekat dengannya. Kemungkinan dia juga akan menjagamu dekat dengannya dengan tujuan melindungimu. Dengan begitu tugasmu akan semakin mudah. Yang perlu kau lakukan hanyalah menunggunya lengah dan membunuhnya."

Riana muak mendengar semua itu. Dia segera membalikkan badannya dan berniat meninggalkan ruang kerja Douglass saat Douglass memanggilnya kembali.

"Kau akan dikirim secepatnya. Pastikan kau mengemasi barang barangmu."

Tak mau mendengarkan, Riana melengos begitu saja keluar dari ruangan.

Dan sekarang, Valya sedang berada di kamarnya demi membantu Riana mengemas barang barangnya. Riana sungguh tak menyangka segera yang dikatakan Douglass kemarin adalah sekarang. Betapa cepatnya.

Setelah selesai dengan kegiatan bercermin. Riana bangkit berdiri. Mungkin dia terlalu lama duduk berhadapan dengan cermin, terlalu fokus pada kesedihannya sehingga tak menyadari Valya sudah selesai dengan kegiatan mengemasnya.

"Kita berangkat sekarang," katanya sambil menggendong tas. Riana mengangguk lemah. Dia mengikuti di belakang Valya.

Sebelumnya Valya pergi terlebih dahulu ke kantor kerja Douglass, dengan maksud memberi laporan. Dan selama itu, Riana tetap berdiri di luar. Dia tak ikut masuk dengan Valya. Dia terlalu muak bertemu dengan iblis yang menyuruhnya membunuh temannya.

Setelah selesai dengan laporannya, Valya keluar. Keduanya berjalan dalam diam di lorong rumah Douglass. Ini mungkin jadi kali terakhir Riana melihatnya, tapi Riana sama sekali tak ingin berindu rindu dengan rumah ini. Dia tak ingin lagi kembali ke sini.

Karmalia : Ramalan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang