Bab 22 : Kehancuran yang dijanjikan

23 4 1
                                    

Iodan kini berlari cepat. Dia sudah tak punya waktu lagi. Dia harus cepat. Dia harus cepat menemukan buku itu!

"Aku tahu, Iodan. Bahkan sebelum mencoba, aku sudah tahu hasilnya. Ya, aku memang bisa melihat masa depan, aku bisa membaca takdir. Esok hari, adalah hari dimana aku diadili. Dan kemudian lusa, adalah hari aku dieksekusi. Dan aku akan dieksekusi di hadapanmu, dengan cara dibakar!"

"Jangan bicara melantur, Riana. Bahkan pemerintah belum memutuskan hukuman. Omong kosong yang kau bicarakan!"

"Itu bukan omong kosong, itu adalah kenyataan. Aku membacanya. Buku itu memberitahuku segalanya. Saat aku melewati perbatasan dengan Valya, aku membacanya!"

Teringat kembali percakapan yang ia lakukan dengan Riana beberapa hari yang lalu. Ya, harus Iodan akui bahwa semua yang Riana katakan adalah benar. Dia memang tak bisa membantu Riana. Riana akan dihukum. Dia berkata dia bisa membaca masa depan dan tahu kalau dia akan dibakar, dan lebih parahnya lagi, itu dihadapan Iodan.

Iodan mempercepat langkah larinya sembari menggenggam kertas yang ada di telapak tangannya kuat-kuat. Dia benci ini. Bagaiamana bisa Riana mengetahui semuanya seolah dia memang bisa membaca takdirnya sendiri? Dan kalau benar dia mengetahunya lewat sebuah buku, buku macam apa yang Riana maksud?!

Saat menyadari emosinya naik kembali, Iodan mencoba menghela napas demi mengendalikannya. Tidak, dia tak boleh panik sekarang. Surat izin dari guru sudah di tangannya, dan sebentar lagi dia akan memperoleh akses untuk melihat-lihat tas Riana yang sebelumnya disita petugas. Dan jika dia bisa mengaksesnya, Iodan yakin kalau dia akan tahu buku apa yang Riana maksudkan.

Tenang, aku masih punya waktu.

Eksekusi Riana akan dimulai ketika siang menjelang. Dan kini baru jam tujuh jika menurut perhitungan matahari-nya. Ini masih belum siang, Iodan tentu masih punya waktu. Tapi meski tahu begitu, dia sama sekali tak bisa tenang dan mempercepat larinya. Dia punya firasat tak enak, entah apa.

"Penjaga, biarkan aku masuk!" titah Iodan ketika hampir sampai di tempat yang ia tuju. Dahi penjaga itu mengkerut, baru beberapa jam lalu pemuda ini yang entah siapa namanya meminta dirinya diperbolehkan untuk masuk. Tapi ruang yang ia akan masuki berisi barang bukti sang penyusup bernama Riana. Penjaga tentu tak bisa mengambil resiko, apalagi pemuda itu beberapa jam lalu datang tanpa surat izin raja. Dia tak ingin ada informasi yang dicuri oleh orang sembarangan.

"Mana surat dari Rajanya?" Penjaga itu mengulurkan tangan meminta surat keterangan raja. Seharusnya pemuda itu—Iodan—sudah tahu peraturannya. Dia takkan bisa masuk tanpa surat itu.

Dan sungguh diluar dugaan, pemuda itu—Iodan—mengulurkan sebuah kertas kusut. Tentu saja penjaga ragu, tapi saat membukanya, itu memang surat keterangan dari Raja dengan perantara Fadwa. Ya, surat seperti ini harusnya cukup. Fadwa sudah mengizinkan, artinya raja juga sudah mengizinkan.

"Masuklah, tapi jangan membawa barang-barang penting dari dalam," akhirnya penjaga itu mengizinkan Iodan masuk. Dan tanpa menunggu sang Penjaga membukakan pintu untuknya, Iodan langsung bergerak dan membuka pintu dengan cepat lantas masuk. Dasar tak sabaran, pikir sang Penjaga.

Dan di dalam ruangan, hanya ada sebuah meja dan tas yang sudah dikeluarkan isinya. Isinya berserakan di atas meja, seolah ada yang mengobrak-abriknya sebelum Iodan datang. Iodan langsung menuju meja itu, mencari gerangan dimana buku yang Riana maksudkan.

Hanya ada pisau serta alat pertahanan diri, dan beberapa bungkus kain yang isinya roti keras. Lalu apa lagi isi tas Riana? Tak ada, hanya ada peta dan kompas selain barang-barang di atas.

Sayangnya buku itu tak ada.

Iodan bergerak gugup, dia dengan cepat mengaduk-aduk isi tas, berharap ada sesuatu yang tertinggal di dalamnya. Tapi tak ada. Semua barang sudah berada di atas meja. Dan di atas meja, tak ada sebuah buku.

Karmalia : Ramalan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang