Bab 32 : Harapan Karmalia yang Hancur

21 3 0
                                    

Gadis itu sedang menyeduh teh takkala wanita penyelamatnya datang.

"Kau habis bertemu seseorang?" tanya gadis penyeduh teh. Wanita berjubah hitam itu tersenyum tipis sebagai jawabannya. Positif, bahkan tanpa perlu bertanya wanita penyeduh teh sudah tahu jawabannya.

"Aku baru saja mengintai putri kecilku," kata wanita itu. "Tak kusangka dia sudah tumbuh menjadi orang yang kuat," helanya. Dari nada suaranya, dia terdengar seperti agak menyesal. Dia menyesal tidak memperhatikan sepenuhnya pertumbuhan putrinya.

"Tentu saja dia sudah dewasa," kali ini bukan gadis penyeduh teh yang menyahutinya, melainkan seorang wanita muda yang baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih digelung handuk, bahkan dia masih menggunakan jubah mandinya, "Dia melewati banyak peristiwa, banyak kejadian yang menghancurkan hatinya dan hampir beberapa kali merenggut nyawanya. Tentu dia menjadi dewasa karenanya," katanya sambil membanting pantatnya dan duduk bergabung. Dia duduk bersama wanita berjubah. Barulah pada akhirnya sang gadis penyeduh teh ikut duduk setelah menata tiga cangkir tehnya.

"Tapi dia terlalu dewasa," komentar gadis penyeduh teh dengan begitu kalemnya. Dia dengan tenang menyeruput tehnya dan menatap muka kedua orang di hadapannya. "Untuk orang sekecil dia, tak seharusnya menanggung beban seberat itu."

"Benar!" seru gadis yang baru selesai mandi. "dia masihlah seumuran jagung, kenapa kau membuatnya begitu menderita hah?!" mata birunya melotot ke wanita berjubah. Wanita berjubah itu adalah ibu dari dia yang sedang dibicarakan di sini, wajar semua orang di sini menutut jawaban darinya.

"Itu pendidikannya," jawab wanita berjubah acuh.

"Kau gila," kata gadis baru selesai mandi, "Dia masih kecil seperti itu dan kau sudah mendidiknya sekeras itu? Sebenarnya apa yang kau pikirkan tentang putrimu hah?! Mana ada ibu gila yang menyiksa putrinya dengan berbagai ujian seperti itu!"

Gadis penyeduh teh setuju saja dengan perkataan temannya. Dia mengangguk angguk sambil menjaga ketenangannya saat meminum teh. Dia tahu kalau wanita berjubah itu takkan memaafkannnya jika dia ikut berteriak bar-bar seperti yang dilakukan temannya tadi.

"Dia anak yang kuat, dia pasti bisa menyelesaikan ujian ini."

"Lalu setelah itu apa? Saat dia tahu kalau ini adalah ujian yang mempermainkan hidupnya, apakah kau pikir dia akan terima begitu saja? Tentu saja tidak! Dia akan marah. Marah besar!"

Wanita berjubah itu tersenyum miring, "tahu dari mana kau?"

"Karna aku yang menjaganya selama tiga tahun, aku tentu tahu dirinya."

"Tapi aku yang menjaganya selama dia masih kecil, aku jelas lebih tahu dirinya."

Mendengar itu sang wanita yang baru selesai mandi membanting cangkir teh di tangannya. Dia tak tahan dengan pembicaraan ini. Bukan tahun yang dibutuhkan untuk mengenal orang yang mereka sedang bahas, bukan bulan, hanya beberapa menit saja orang-orang tentulah tahu apa yang akan dilakukan gadis itu. Gadis itu terlalu naif, terlalu polos, bahkan dia tahu itu.

Dan dua wanita di depannya benar-benar keterlaluan, mereka merasa mengenal gadis itu, padahal takkan ada seseorang yang benar-benar mengenalnya. Karna ditutupi segala kebaikan hatinya, keinginan terdalamnya jadi tersamarkan. Karna ditutupi dengan senyuman di wajahnya, jadi kesengsaraannya tak tampak.

Gadis itu terkenal, meski pada akhirnya tak ada yang benar-benar mengenalnya. Memilih meninggalkan tempatnya duduk, wanita yang masih menggunakan jubah mandi itu benar-benar hendak pergi ketika sang wanita berjubah berkata dengannya.

"Aku dapat kabar baru tentang kakakmu."

Begitu mendengar hal itu, tangan gadis itu langsung tergenggam erat. Teringat dirinya beberapa hari yang lalu ketika ia menerima informasi tentang kakaknya. Apa yang disampaikan membuatnya berang sampai-sampai dia membalik meja. Sehabis menerima informasi itu, dia jadi enggan memikirkan kakaknya.

Karmalia : Ramalan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang