Bab 34 : Permintaan Putus Asa Karmalia

23 4 0
                                    

Berkedip satu kali, pemandangan tak mau berubah. Kedua kalinyapun sama. Hanya ada asap dimana-mana, dan puing puing bangunan serta mayat. Itulah yang Lia lihat saat ini.

Kakinya yang terluka karna terkena hantaman puing kini memaksakan diri berjalan, menjadikannya mati rasa. Apalagi ditambah luka luka di tubuh Lia dan bajunya yang sudah compang camping tak beraturan, praktis kini dia terlihat seperti korban bencana yang sedang sangat kesusahan.

Dan bukannya mencari batuan, dia malah berjalan terus menuju sumber ledakan, sambil berharap kalau apa yang dipikirkannya selintas tadi tidaklah benar.

Sepanjang perjalanan, hanya ada prajurit terluka dan puing bangunan yang menutup akses jalannya. Para prajurit itu tak menghiraukannya, yang semula adalah seorang penyusup. Alih alih menangkap, mereka mungkin sedang menunggu bantuan para medis yang langsung pontang panting kesana kemari setelah ledakan. Tenaga mereka sedikit dan banyak sekali korban, Lia sedikit merasa kasihan pada mereka.

Jika saja mereka bukan musuh dan energi Lia masih ada, mungkin dia bisa mempertimbangkan untuk membantu. Tapi apalah daya, energinya tinggal sedikit. Bahkan untuk menyembuhkan diri saja Lia tak bisa.

Semakin lama dia berjalan, keadaan semakin mengenaskan. Lupakan kondisi tubuhnya yang babak belur, masih lebih banyak yang lebih parah darinya. Dan semakin Lia berjalan, dia semakin sadar. Ledakan itu, entah apapun asalnya, telah menghancurkan bagian dalam barak militer sehancur hancurnya. Bahkan kini, di sektor keamanan ke empat, dimana seharusnya tempat ini menjadi tempat aman dengan berlapis lapis prajurit, tak bersisa satupun. Baik orang, maupun bangunan.

Lebih parah di sektor lima. Bahkan sudah tak berbentuk lagi karna tekanan ledakan. Dan ketika Lia menginjakkan ke wilayah sektor enam, dia juga mendapati hal yang sama. Hanya kosong saja, tanpa manusia.

Tapi dia keliru. Ada satu manusia yang bertahan dalam ledakan dahsyat tadi. Lia harap itu kakaknya. Tapi sayangnya bukan.

Seorang pria, dengan percaya dirinya menatap Lia yang baru saja datang. Dia melempar senyum di belakang tameng yang melindunginya. Dia selamat, dan Lia tentu tahu kalau dia selamat karna tameng yang menghalangi tekanan ledakan.

"Kita bertemu lagi," suara itu nyatanya membuat Lia keluar dari kekagetannya. Bagaimana tidak kaget, kalau Lia melihat orang yang baru ditemuinya tadi kini sudah kembali di depan matanya. Bukankah ini sesuatu lelucon yang aneh?

"Sungguh, aku sudah mengira kau akan bisa sampai di sini," dia menyugar rambutnya ke belakang, bersikap santai walaupun Lia kini menatapnya dengan mata tajam. Tersirat kebencian yang dalam di sana. Dan jauh di mata Lia, ada bercak kekhawatiran.

"Apa yang telah kau lakukan pada Kakakku? Dimana dia?!" Sayangnya kekhawatiran itu ditujukan pada Kakaknya, bukan orang di depannya yang baru saja selamat dari ledakan besar. Tapi memangnya siapa yang akan mengkhawatirkan musuhnya? Hanya orang gila yang melakukan itu, dan sayangnya Lia kini tidak gila.

Sementara mendapat bentakan marah Lia, Raja Natra hanya memiringkan sudut bibirnya. Ada raut meremehkan, sekaligus raut kasihan di wajahnya. "Seharusnya sekarang aku yang marah."

"Kau tahu, saat aku menangkap dirinya dan membuatnya tak berdaya seraya menyiksanya untuk menggali informasi tentangmu, kupikir dia benar benar menyerah. Nyatanya dia tak tahu apa apa tentangmu. Dan dengan bodohnya, dia bahkan percaya kalau kau memang benar-benar sudah mati."

Lia merasakan firasat tak enak seiring pria di depannya terus bicara. "Kupikir dia melindungimu, menyembunyikanmu di suatu tempat. Hingga kuyakin kalau dia takkan melakukan tindakan bodoh dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri."

Tubuh Lia membeku. Ini semakin tak baik. Bahkan api, asap, abu yang sedari tadi menghalanginya tak bisa membuatnya kesulitan bergerak seperti ini. Tapi kenapa, hanya dengan beberapa patah kata dari pria di depannya Lia sudah tak berdaya? Kata-katanya yang menimbulkan kekhawatiran di hati Lia nyatanya berhasil menghentikan gerakannya.

Karmalia : Ramalan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang