Mana menaiki tangga dengan muka pucat. Napasnya memburu. Baju tidur yang masih dipakainya terlihat teramat berantakan. Rambutnya kusut, raut muka bangun tidur tercetak jelas di wajahnya.
Berkali-kali dia merutuki dirinya sendiri, bagaimana bisa dia tertidur lelap ketika kakaknya berjuang keras melawan demam? Rasa bersalah langsung menyergapnya begitu bangun tidur.
Jadilah sekarang gadis berumur tiga belas tahun itu cepat-cepat ke lantai dua, kamar kakaknya. Ia ingin meminta maaf, maaf karena telah meninggalkan kakaknya sendiri sementara dia mengobrol dengan orang-tua dan berakhir ketiduran.
Yang terpikir di kepala Mana adalah dia akan membuka pintu dan mendapati kakaknya masih tertidur lelap sementara Eiji akan duduk di sampingnya, menjaganya. Memikirkan kemungkinan itu membuat hatinya kesal sendiri. Eiji, pria itu hanya memanfaatkan kakak saja, pikir Mana. Dilihat dari wajahnya sudah jelas, dan kakak nyatanya terlalu polos untuk menyadari hal otu. Untunglah ada adiknya yang akan selalu menjaganya.
Tapi nyatanya skenario pikiran Mana sangat-sangat jauh berbeda dengan kenyataan. Ada yang sama memang, tapi hanya satu poin saja, yakni poin dimana Riana tidur lelap ketika Mana membuka pintu kamar.
Ia memang menemukan Eiji, tapi pemuda itu nyatanya tidak sedang menjaga kakaknya. Alih-alih duduk menjaga, dia malah ditemukan berbaring bersama Riana di kasur.
Amarah langsung naik ke ubun-ubun Mana. Bagaimana bisa pemuda itu mencuri start dariku? Berani-beraninya dia mendekati kakak disaat aku sedang tak ada?!
Tapi belum sempat dia marah, atensinya teralihkan dengan kehadiran gadis baru yang sama-sama tidur di samping Riana. Lihatlah, sekarang tempat di samping Riana terisi penuh, tak ada kesempatan bagi Mana untuk masuk di dalamnya.
Melihat wanita asing itu membuat Mana tambah berang sendiri.
Tapi sedetik kemudian, dia terdiam takkala melihat wajah tidur kakaknya. Kakaknya terlihat tidak lagi kesakitan, dia juga nampak tidur dengan nyenyak. Hal yang sama berlaku pada dua orang di sampingnya. Mereka sama sama berpose damai dalam alam mimpi.
Dan karena hal itu, Mana batal marah. Dia menghela napas, mendecakkan lidah sebelum akhirnya mengambil ponselnya.
"Sayang sekali kalau hal ini tidak diabadikan," gumamnya pelan takkala dia memilih sudut pandang foto. Dia menjepret beberapa kali, sebelum akhirnya menurunkan ponselnya karena adanya pergerakan kecil dari sang pemuda.
Pertama jari tangan, merambat ke tangan dan kaki dan terakhir ke mata. Tak menjelang lama, Eiji bangun dari tidurnya.
"Apakah kakak sudah sehat?" tanya Mana pada pemuda itu. Pemuda itu tentulah lebih tahu apa yang terjadi dengan kakaknya. Eiji yang mendengar itu tersenyum tipis. Dia melihat wajah tidur Riana, tangannya bergerak sendiri menyingkirkan rambut Riana yang menutupi wajahnya.
Mana memandang itu dengan mata tajam. Dia tak terima kakaknya diperlakukan begitu oleh pria yang tidak direstuinya. "Sebaiknya kau hati-hati dengan tanganmu atau aku akan–"
Sayang sekali Eiji sama sekali tak berniat mendengarkannya. Alih-alih mendengarkan, Eiji malah bergerak cepat. Dia mencuri kecupan dahi Riana.
Mana kehilangan kata-kata. Dia tak bisa menghentikannya. Dan begitu dia sadar dari kekagetannya, semuanya sudah terlambat.
"Hah?" Mana perlu waktu menyusun kembali otaknya, sebelum dia berlari dengan ganas menyerang Eiji.
Berani-beraninya dia. Eiji memang sudah kelewatan batas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karmalia : Ramalan Takdir
FantasySemuanya menjadi kacau ketika hari ulang tahun Riana yang ke empat belas. Sakit yang hampir saja merenggut jiwa dan kesadarannya menbuatnya berhalusinasi bahwa dirinya benar benar tak waras saat itu juga. Memangnya siapa yang akan menyangka kalau Ri...