Bab 13 : Sebuah pertemuan yang tak diharapkan

34 6 0
                                    

Riana menyadari dirinya kini menangis. Karna dan lewat mimpi itu, dia bisa sedikit membayangkan tentang kesedihan Douglass.

"Riana, kau tak apa apa?" Mai segera menghampirinya dengan muka panik. Dia tentu saja panik ketika mendapati orang yang dilayaninya terbangun dengan napas pendek dan dada yang naik turun. Terlebih lagi ada air mata yang mengalir melewati pipi Riana.

Mendapati Mai mengkhawatirkannya, Riana mengangguk demi menjawab pertanyaannya. Dia hanya sedikit kaget, dan juga sedih tentunya. Dia tak menyangka akan jadi seperti ini. Tapi kenapa?

Kenapa dia memimpikannya? Padahal dirinya saja tak tahu bagaimana wajah istrinya Douglass. Dan lebih dari itu, kenapa dia harus peduli? Kenapa? Dan bagaimana?

Hanya jawaban kosong yang Riana dapatkan. Dia tak tahu apa manfaatnya memimpikan hal itu.

"Minum ini," Nai juga cepat tanggap. Dia memberikan segelas air putih kepada Riana. Apapun yang baru saja Riana lakukan, tetap saja dia membutuhkan air putih untuk mengembalikan kembali semua energi yang dikuras kekhawatiran.

"Aku hanya bermimpi buruk, bukan masalah serius," Cerita Riana ketika kedua pelayan itu masih saja menatapnya dengan tatapan kelewat khawatir. "Mungkin aku terlalu lelah."

Nai menghela napas. Dipikirnya ada apa hingga Riana terbangun dengan kondisi kaget seperti tadi. Berbeda dengan saudaranya, Mai sama sekali tak merasa temang. Dia masih menatap Riana dengan kekhawatirannya.

Setelah meminum air yang ditawarkan Nai, akhirnya Riana berbaring dengan maksud hendak melanjutkan kembali tidurnya. Tapi hanya butuh beberapa menit hingga dia sadar sepenuhnya bahwa dia tak lagi mengantuk dan sepertinya akan sulit baginya untuk tidur kembali.

"Aku ingin mencari udara segar sejenak, jalan jalan," Lapor Riana pada dua orang yang bertugas mengawasinya itu.

"Kalau begitu kami ikut," Mai berkata sambil menguap lebar, dia masih mengantuk. Bagaimanapun ini masihlah tengah malam.

"Kau istirahat saja," Nai berkata pada saudaranya. "Aku akan menjaganya."

"Tak perlu," Riana menjawab cepat. "Aku bisa dan berani pergi sendiri, kok."

"Tapi Jendral Douglass memerintahkan kami untuk mengawasimu," Nai keras kepala. Riana menghela napas sebelum akhirnya berkata dengan nada sedih. "Aku butuh waktu sendiri, biarkan aku sendiri."

Nia tak lagi membantah. Untunglah Riana punya pelayan yang pengertian. Mungkin mimpi buruk itu menghantui dan sangat mengganggu pikiran Riana, itulah yang dipikirkan Nai ketika dia membiarkan Riana berjalan ke luar kamar sendiri tanpa pengawalan.

Walau malam hari adalah waktu yang rentan. Tapi baik Nai maupun Mai sama sekali tak khawatir. Ini adalah rumah Douglass, rumah dengan sistem pertahanan yang sulit ditembus. Tak mungkin ada penyusup yang bisa menyakiti Riana. Jangankan menyakiti, memasuki rumah saja tak bisa.

Dan jika Riana berakhir disakiti, pastilah perbuatan orang dalam. Artinya ada pengkhianat di rumah ini.

Dan dengan pemikiran seperti itu, Nai membiarkan Riana pergi. Dan Mai kembali tidur dibalik selimut tebalnya.

o0o

Riana berjalan sendiri di sepanjang lorong gelap. Tak banyak lampu minyak yang menyala di sepanjang lorong, membuat Riana berjalan dengan penerangan seadanya. Seandainya kini dia berada di dunianya, bumi, maka penerangan sudah bukan lagi masalah.

Tapi pada akhirnya Riana toh tidak peduli. Memang suasana inilah yang ia harapkan. Dan suasana inilah yang bisa membuat dirinya memikirkan kembali semua hal yang terjadi dengan tenang. Baik tentang Douglass dan istrinya, tentang Lia, maupun tentang pergerakan tiba tiba Zaganos.

Karmalia : Ramalan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang