Dan kalian pikir Riana benar benar mati setelah tertembak dan mengeluarkan banyak darah? Sayangnya pemikiran itu salah. Riana tak mati.
Dia bahkan sekarang masih bisa merasakan kegelapan yang mengukung dirinya. Tubuhnya terasa mati rasa. Riana tahu kalau dia sedang menutup mata, dan tak bisa membukanya. Jadilah dia berdiam diri dan tak melakukan apa apa.
Tapi sedetik kemudian, teringat dirinya akan Lia. Bagaimana kondisi gadis itu, Riana belum memastikannya. Dengan berbekal tekad dan perintah pikiran, Riana mencoba sekuat tenaga membuka matanya.
Pertama yang terlihat hanya siluet cahaya. Matanya yang tadinya berada di kegelapan langsung merasa silau, dia berkedip beberapa kali sebelum akhirnya membuka lebih lebar pandangannya.
Dan yang pertama kali ia saksikan adalah sebuah sosok. Matanya mengfokus, mencoba memperjelas gambaran. Seorang pria, kini sedang duduk diam dan memperhatikannya. Matanya yang hitam serasa memberi tusukan tajam setajam jarum di tubuh Riana. Riana mengerang, ketika sensasi perih nan terbakar terasa mengeroyok dadanya tiba tiba.
"Jangan banyak bergerak," kata sosok yang bahkan Riana belum bisa melihat bentuknya dengan jelas. Riana mengabaikan nasehat itu, rasa sakit ini menyiksanya.
Dia menggeliat, bagai cacing kepanasan. Dan disetiap geliatan, rintihan sakit keluar dari mulutnya. Rasa sakit menyiksanya setiap kali dia bergerak.
"Kubilang jangan bergerak," ulang sosok itu. Dan kali ini Riana memilih patuh.
Dan bagai keajaiban, rasa sakit di dadanya mulai mereda.
"Panggil penyembuh, sekarang!" kembali sosok itu berkata. Tapi kali ini Riana merasa kalau perkataan itu jelas bukan ditujukan padanya. Benar saja, ada seseorang lain yang menjawab.
"Siap, Jendral."
Suaranya mirip wanita. Dan tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki meninggalkan ruangan.
Dan kembali ke Riana, dia sudah mulai bisa mengfokuskan pandangannya. Walau kepalanya masih terasa berputar ke sana kemari, setidaknya sekarang Riana sudah bisa melihat sosok itu.
"Jendral Dou-glass," katanya terbata. Lidahnya kelu, tapi langsung lirih bersuara saat sadar jika sosok pria itu adalah Douglass, orang yang tadi hendak menangkapnya.
Jika dirinya di sini, apakah itu artinya dia tertangkap? Jika dirinya tertangkap, bagaimana dengan Lia? Sungguh dalam hati Riana benar benar berharap kalau Lia berhasil melarikan diri.
"Kau sakit, lebih baik kau tetap diam." katanya menjawab perkataan Riana. Riana diam, bukan karna perintahnya, melainkan karna tak tahu harus berbuat apa.
Hening menggantung canggung. Douglass sama sekali tak melepaskan matanya dari Riana. Hal itu membuat Riana merasa tak nyaman. Karna itulah, dia memalingkan pandangan dan memilih mengamati sekitar.
Dirinya kini berada di ruangan serba putih, mirip rumah sakit di dunianya dulu. Hanya ada satu ranjang yang kini menjadi tempat berbaringnya, dan satu lagi kursi yang kini diduduki Jendral Douglass.
"Kenapa kau menangkap kami?" tanya Riana. Mungkin karna keheningan itu, membuat lidahnya tanpa sadar bertanya.
Douglass menaikan alisnya, tampak terkejut karna gadis usia empat belas tahun itu bertanya secara terang terangan. Mungkin rasa sakit yang bersarang di dadanya membuat dirinya melupakan rasa takutnya, itulah pikir Douglass.
Hening, Douglass sama sekali tak berniat menjawabnya. Riana menghela napas. Sebenarnya dia juga tak mengharapkan jawaban, dia hanya penasaran saja.
"Kau tahu, dikejar olehmu dan hendak ditangkap kemudian dibunuh, bagiku itu tak masalah. Itu sering terjadi, memang seperti itulah medan perang. Tapi bagi Lia, itu berbeda. Kau adalah jendral perang, tangan kanan raja. Semua tindakanmu mencerminkan tindakan blok ini. Dan ketika kau mengejarnya, Lia mungkin berpikir kalau tanah airnya mengkhianatinya." gumam Riana pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karmalia : Ramalan Takdir
FantasySemuanya menjadi kacau ketika hari ulang tahun Riana yang ke empat belas. Sakit yang hampir saja merenggut jiwa dan kesadarannya menbuatnya berhalusinasi bahwa dirinya benar benar tak waras saat itu juga. Memangnya siapa yang akan menyangka kalau Ri...