Riana memang tak pernah mengharapkan kebahagian. Sedari kecil Riana sudah membuang harapan itu jauh jauh, saat hujan deras tiba, dimana dia sendirian tanpa seorang pun memayunginya.
Kisah itu terjadi ketika dirinya masih sangat kecil. Ketika itu, Riana sedang berjalan sendiri. Mendung menggantung rendah. Petir dan kilat menyambar nyambar jauh di sana.
Di hari yang gelap itu, dia hendak kembali ke rumah. Jalanan sepi, tapi memang seperti itulah adanya. Rumahnya terlalu pelosok dan terletak jauh di atas pegunungan. Jadi sangat jarang ada orang yang melewati jalan itu.
Jalannya memang sepi, tapi bukan berarti itu tak ada orang. Dan itu bukanlah hal yang wajar. Apalagi kini langit mendung dan sekejap lagi malam.
Dan berapa terkejutnya Riana waktu mendapati seonggok atau sesosok berjubah tergeletak tepat di tengah jalannya pulang. Jubahnya kotor. Setelah didekati, Riana sadar kalau itu adalah seorang manusia muda, bergender laki laki.
"Hei, kau tak apa apa?" Tanya Riana tepat setelah menghampiri sosok itu.
Tapi yang ditanya hanya diam. Dia tak menjawab sama sekali. Dan bagaimana bisa dia menjawab ketika matanya saja menutup dan luka terbuka yang masih mengucurkan banyak darah di sana sini?
Riana mengangkat tangannya, hendak menyentuh luka. Jujur saja hatinya terasa sakit ketika melihat darah. Pemuda itu yang mungkin berumur dua puluhan terluka parah. Itu membuat instingnya menyuruhnya mempedulikannya.
Dan tepat ketika dia menyentuh pelan luka sang pemuda dengan maksud membantunya, tiba tiba tangan pemuda itu bergerak. Sangat cepat, bahkan Riana sendiri sampai tak melihat pergerakannya. Dan sedetik kemudian, saat dirinya bahkan belum mengedipkan mata, Riana sadar kalau tangannya kini digenggam erat.
"Barani beraninya kau menyentuhku," desis pemuda itu marah. Tapi memangnya apa yang Riana mengerti saat itu? Bukannya takut atau apa, dia malah memiringkan mukanya tak mengerti. Yang ia pahami saat itu hanya pemuda di depannya mungkin sedang sakit, hingga dia tertidur di jalan. Dan sudah menjadi kewajibannya untuk menolong orang lain yang kesusahan bukan?
"Kau sakit?" tanya Riana peduli. Tapi pemuda itu malah membalasnya dengan tatapan tak percaya.
"Hah?!" Dia menepis tangan kecil Riana. "Memangnya apa pedulimu?"
Riana tak menjawabnya. Dia tak mengerti.
"Cih, dasar anak kecil." Pemuda itu berdiri, Riana menatapnya dengan tatapan khawatir.
Bagaimana dia tidak khawatir, dahi pemuda itu mengeluarkan darah segar. Dan darah itu mengalir sebelum akhirnya pria itu sadar dan segera mengelapnya.
"Kau terluka," ujar Riana sambil menggenggam tangan pemuda itu. "Kau sakit."
"Luka seperti ini takkan membunuhku," jawab pemuda itu ketus. "Siapa namamu, anak kecil?"
"Riana."
Mata pemuda itu membulat saking kagetnya. Tapi hanya sebentar, karna sesaat kemudian raut wajahnya menggelap. Ada pancaran amarah dan kebencian yang tiba tiba meluap tepat setelah Riana menyebutkan namanya. Dan Riana bahkan tak tahu apa alasannya.
Tangan pemuda itu itu bergerak cepat. Tangan kanannya melingkar di leher Riana. Mencengkam erat leher kecil Riana. Sedangkan matanya menatap Riana dengan rasa benci dan permusuhan yang telah dikubur selama berabad-abad.
Riana meronta ronta kesakitan. Dadanya panas, perih dan sesak. Oksigen terasa sangat kurang. Kepalanya dengan cepat berkunang kunang. Cekikan mendadak pemuda itu membuat dirinya tak bisa melakukan usaha apapun untuk menghindarinya. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengeluarkan suara tercekik, memasang muka pucat kasihan dengan mata berkaca kaca dan berusaha sekuat tenaga melepaskan tangan pemuda itu dari lehernya. Kedua tangan kecilnya menggenggam tangan pemuda itu, berharap tangan yang mencekik lehernya lepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karmalia : Ramalan Takdir
FantasySemuanya menjadi kacau ketika hari ulang tahun Riana yang ke empat belas. Sakit yang hampir saja merenggut jiwa dan kesadarannya menbuatnya berhalusinasi bahwa dirinya benar benar tak waras saat itu juga. Memangnya siapa yang akan menyangka kalau Ri...