Pintu ruangan itu ditutup dengan keras, menghasilkan bunyi berdebam. Hanya ditemani sebuah lampu petromax, Douglass, Riana, Lia dan salah satu tentara masuk ke ruang yang dijadikan ruang introgasi.
Satu tentara tadi membangunkan pria yang terikat di tengah ruangan. Pria yang sebelumnya tertidur kini kembali bangkit berdiri sebelum akhirnya mengerjap tak mengerti akan kehadiran orang orang asing ini.
"Siapa?" tanyanya lemah. Jelas sekali kalau orang ini bahkan belum makan selama beberapa hari. Tapi begitu dia menajamkan pandangan untuk melihat siapa gerangan kelompok Lia ini, dia malah mendapat tendangan keras dari salah satu tentara.
"Akh!" jerit Riana kaget. Dia langsung menutup mata dan berjongkok ketakutan. Teringat kembali kilasan penyiksaan yang di alaminya dua tahun lalu, saat dirinya baru ada di dunia ini dan tak tahu apa apa. Sama seperti pria ini, Riana saat itu juga mengalami penyiksaan berkedok introgasi.
"Hei, apa yang kau lakukan!" bentak Lia pada sang tentara. Tentara itu malah menatapnya bingung. "Dia punya trauma penyiksaan. Kenapa kau malah menyiksa pria itu?!" kata Lia sambil menunjuk Riana yang kini sudah berwajah pucat. Tangannya gemetaran. Jelas dia takut sekaligus kaget.
"Oh, jadi dia punya trauma penyiksaan," Douglass berkata sambil tersenyum. Sama sekali tak nampak di matanya adanya guratan belas kasih.
Dia berjalan mendekati pria yang terikat itu. Tendangan tentara tadi memang berhasil membuat tanda memar di pipinya, tapi pria itu tak menyerah. Dia bisa kembali duduk dan menghadapi keempatnya.
Setidaknya itu terjadi sebelum pisau belati militer yang berada di genggaman Douglass menusuk dada belah kanannya.
"Aakhhh....." terdengar raungan kesakitan. Pria itu menggeliat tak jelas, berusaha menjatuhkan pisau yang dibiarkan saja tertancap. Dan tentu saja tidak berhasil, pisau itu masih ada di dada kanannya, menimbulkan banyak darah.
"Hei, apa yang kau lakukan?!" teriak Lia marah. Bukannya mendengarkan, si Jendral ini malah memperburuk keadaan. Lihatlah sekarang kondisi Riana. Saking tak tahannya, dia bahkan mencegah mual dengan menutup kuat kuat mulutnya dengan kedua tangan. Matanya terpejam, berusaha melupakan pemandangan yang baru dilihatnya. Dan otaknya berusaha sekuat mungkin mengusir suara jeritan yang terngiang ngiang di kepalanya.
Tapi bahkan Lia sama sekali tak diberi waktu untuk marah ketika Douglass berkata.
"Sembuhkan dia."
Lia memasang muka tak mengerti. Bukan pura pura, kali ini dia benar benar tak mengerti. Akhirnya pikiran buntunya meminta penjelasan. "Apa maksudmu?" katanya lirih nan tak percaya.
"Aku banyak mendengar rumor tentangmu," Douglass mencabut pisau di dada laki-laki itu, membuat dadanya mengucurkan banyak darah. "Tentang dirimu yang bergelar Dewi Penyembuhan. Tak sedikit para tentara yang pernah melihat keajaibanmu. Dan dari banyaknya laporan, ada satu kesamaan. Mereka melihat dirimu menyembuhkan mereka dengan menggunakan sinar yang tiba tiba muncul dari tanganmu. Dan akupun langsung tahu, itu adalah kekuatanmu, bukan?"
Lia kehilangan kata kata. Dirinya juga masih memasang mimik muka tak mengerti. Sebenarnya apa yang sedari tadi pria tak waras ini katakan?
"Apa maksudmu? Kekuatan?"
"Kau tak perlu dan tak bisa menyangkalnya. Kau punya kekuatan penyembuhan. Kekuatan itu digunakan untuk menyembuhkan orang lain. Sinar putih keemasan itulah cirinya."
Bahkan Riana yang mendengarnya sama sama dibuat bingung.
"Omong kosong apa yang kau bicarakan?" bahkan hingga kini, Lia masih tak mengerti.
"Entah kau yang bodoh atau memang tak mengerti. Tapi yang pasti, orang itu sebentar lagi akan mati, loh," Douglass menunjuk pria itu yang terkapar di lantai. Darah menggenang membentuk sebuah kubangan merah yang mengerikan. "Apakah kau benar benar takkan menyembuhkannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Karmalia : Ramalan Takdir
FantasySemuanya menjadi kacau ketika hari ulang tahun Riana yang ke empat belas. Sakit yang hampir saja merenggut jiwa dan kesadarannya menbuatnya berhalusinasi bahwa dirinya benar benar tak waras saat itu juga. Memangnya siapa yang akan menyangka kalau Ri...