Dan ketika Riana diperintahkan membuat keputusan, tiba-tiba saja terdengar suara ketukan dari pintu luar. Riana menoleh, menghentikan kegiatan berpikirnya, begitu juga Iodan dan gurunya. Alih-alih meneruskan diskusi, Iodan berdiri waspada kemudian berjalan mendekati pintu. Sama persis ketika merpati itu datang, begitulah sikap Iodan saat ini.
Iodan memutar kenop pintu pelan-pelan. Tapi sayangnya seseorang di luar pintu terlalu tidak sabar dengan tindakan Iodan dan memilih mendobrak pintunya. Pintu terbuka cepat disusul seruan kaget Iodan.
Seseorang berjubah hitam kini terkapar di lantai ketika Iodan melepaskan pegangannya pada pintu begitu saja. Riana mundur satu langkah berjaga-jaga. Begitu pula Fadwa. Dilihat dari manapun orang berjubah ini nampak misterius nan berbahaya.
Orang itu mengerang kesakitan. Dari suara yang keluar dari mulutnya, tahulah Riana kalau orang itu adalah pria. Dan suaranya, entah kenapa tidak asing di telinga Riana.
"Ri-ana," hanya nama itu yang pertama kali keluar dari mulutnya. "Kau masih hidup?"
Pria itu menengadahkan kepalanya menghadap Riana. Jantung Riana mencelus ketika melihat wajah pria itu. Pria itu berdiri, memperbaiki penampilannya yang sangat berantakan begitu sampai di sini.
"Hai kau, kenapa pula jendral perang Blok Selatan ada di sini?" Iodan berkata tak terima ketika melihat pria itu alias dougglas berada di rumah peristirahatan gurunya. Ini bukan lelucon konyol, apalagi prank semata. Kehadiran Dougglas di sini tentu saja membingungkannya.
"Aku ada urusan dengan pemilik Buku Masa Depan," Dougglas berkata sambil melirik Riana. Dia memberikan tatapan tajam pada Fadwa dan juga Iodan. Tak ayal tatapan itu membuat Iodan berang sendiri. "Maaf sekali, kami juga punya urusan dengan pemilik Buku Masa Depan," katanya ketus.
"Kupikir kau datang ke Blok Utara karna ada urusan apa, tapi ternyata karna ini. Guru, tak usah kita repot-repot menyelamatkannya."
Dougglas yang tak mengerti memasang muka bingung, sedangkan Fadwa memasang muka berpikir serius. Riana di tengah itu semua, dia tetap netral.
Dalam hati syukurlah kalau laki-laki ini tak apa-apa. Itu artinya Riana sudah memenuhi syarat untuk kembali ke Bumi dari Fadwa. Sekarang, dia tinggal mencari cara kembali ke Bumi.
Tangannya tanpa sengaja bergerak ke saku celana. Dan di sana, bersemayamlah pisau belati pemberian Spirit itu. Bagaimanalah ini? Dia tak mungkin dan tak mau membunuh Dougglas, tapi mungkin satu-satunya cara dia kembali hanyalah itu.
Riana menggigit bibirnya keras-keras, menyuruh dirinya sendiri sadar. Pasti ada cara lain! Bagaimanapun itu.
"Jendral perang Blok Selatan, ada urusan apa kau dengan Riana?" Fadwa sama sekali tak bisa mempercayai laki-laki pembuat masalah ini.
"Riana, aku hanya ingin bertemu istriku kembali."
Saat mengatakan itu, heninglah seluruh ruangan. Padahal mereka sudah membahas ini sebelumnya, kemungkinan Dougglas datang ke sarang musuh demi istrinya. Tapi entah kenapa saat mendengarnya secara langsung membuat mereka sulit percaya.
"Kemana kau saat itu hah?! Saat Mal baru saja kehilangan bayinya, kemana kau saat itu hah?!" bentak Riana marah. Dougglas pias mendengarnya. "Saat itu kau meninggalkannya sendiri, dalam jurang keputus-asaan. Dan sekarang, kau berkata kalau kau ingin menemuinya?"
Konyol sekaligus menyedihkan, pikir Riana. Bagaimana bisa Dougglas sangat mempermainkan perasaan Mal di sini? Lupakan dulu mengenai syarat pulang dari Spirit itu yang menyuruh Riana membunuh Dougglas. Bahkan tanpa Spirit itu suruh, Riana saat ini benar-benar ingin menggoreskan pisau ke leher laki-laki itu.
"Kenapa sekarang kau tak kembali ke Blokmu saja? Bukankah kau lebih memilih blokmu dibandingkan istrimu?"
Perkataan ketus Riana tak ayal membuat raut muka Dougglas merasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karmalia : Ramalan Takdir
FantasySemuanya menjadi kacau ketika hari ulang tahun Riana yang ke empat belas. Sakit yang hampir saja merenggut jiwa dan kesadarannya menbuatnya berhalusinasi bahwa dirinya benar benar tak waras saat itu juga. Memangnya siapa yang akan menyangka kalau Ri...