Akhirnya Lia memutuskan memanggang ikan bakar di tepi pantai, dia tak mau repot repot memasak hidangan lain.
"Bukan berarti aku menyalahkanmu. Tapi kau tahu, seorang paramedis tidak boleh terlalu terpengaruh perasaan para korban. Itu akan menimbulkan efek buruk."
Lia berkata sambil memberikan jatah ikan Riana yang sudah dipanggangnya. Api unggun adalah salah satu penyinar di antara mereka, selain bulan di atas. Keheningan yang diselingi debur ombak mengisi suasana. Baik Riana ataupun Lia tak mau lagi membahas kejadian tadi. Riana terlalu lelah, begitu juga Lia.
"Mau jalan jalan sebentar? Sekaligus cari udara segar," tawar Lia ketika tanpa dirasa keduanya sudah menghabiskan jatah ikan masing masing. Riana mengangguk, mungkin itu bisa mengobati rasa di hatinya yang saat ini kacau atau paling tidak bisa menjauhkannya dari segala hiruk pikuk dunia yang menyiksanya secara mental.
Keduanya berdiri, lantas berjalan pelan mengikuti bibir pantai. Sepanjang jalan, lagi lagi hanya debur ombak yang menemani mereka berdua.
"Kau tahu, jika kau ingin kembali maka aku bisa membantumu," Riana tahu kalau Lia akan membahas topik ini. Dia sudah memutar skenario percakapan, tapi tetap saja dirinya membisu mendengar penuturan Lia.
Debur ombak membasuh kakinya, tapi Lia tak peduli. Sesaat setelah dia bicara, dirinya tak kuasa menatap wajah Riana. Alih alih menatapnya, Lia kini malah difokuskan pada buih buih ombak yang coba menempel di kakinya.
Lia tahu, topik pembicaraan ini agak berat bagi Riana. Riana pasti merindukan rumahnya, tapi mau bagaimanapun dirinya tertahan dua tahun di sini karna benar benar tak tahu jalan pulang. Berkali kali Riana menjelaskan alamat rumah, kota, pulau bahkan sampai negaranya, tapi Zaganos—selaku orang yang mencari informasi untuk Riana—sama sekali tak menemukan apapun. Ketiadaan informasi itu menguatkan fakta bahwa Riana berasal dari dunia lain. Cara kembali ke dunia Riana juga masih misteri.
Satu satunya jalan adalah dengan menemukan kembali buku itu, buku yang membawanya kemari. Tapi itu berada di Perbatasan, hanya orang orang tolol dan tak sayang nyawa yang akan kembali kesana untuk kedua kalinya.
"Kita bisa pergi ke Perbatasan—"
"Tidak, Lia." jawaban itu sudah terduga, tapi entah kenapa hati Lia sakit mendengarnya. Riana bahkan sama sekali tak mempertimbangkan idenya.
"Aku akan menemanimu, Riana. Kita akan pergi ke perbatasan bersama," Lia berkata antusias. Bukan berarti dirinya tidak takut menghadapi tempat bernama Perbatasan. Tapi apapun demi Riana. Apapun.
"Tidak, Lia. Sekali lagi tidak!" Riana berkata tegas. Dia menekankan apa yang ia katakan. "Zaganos akan marah besar mendengar rencanamu."
"Tapi Riana, lihat tubuhmu!" tak terima kalau rencananya bahkan ditolak untuk dipertimbangkan, Lia tak sengaja membentaknya. Riana keget, tanpa sadar menundukan pandangannya. Dan di kakinya yang kini terendam air, disinari rembulan purnama yang terang membuat Riana bisa melihat bayangan dirinya dan Lia yang kini berdiri dihadapannya.
"Selama dua tahun ini, aku tumbuh menjadi gadis remaja. Usiaku enam belas tahun sekarang. Tapi lihat dirimu, baik sekarang ataupun dua tahun yang lalu, kau sama saja. Kau adalah Riana usia empat belas tahun. Tubuhmu sama sekali tak berkembang."
Perkataan Lia menyadarkannya. Tidak, sebenarnya Riana juga sudah menyadarinya sedari awal, tapi dirinya tak mau ambil pusing. Yang dikatakan Lia benar. Kini di bayangan yang terbentuk di air laut adalah seorang gadis yang kira kira berusia empat belas tahun dengan seorang lagi gadis berambut pirang berusia enam belas tahun. Gadis berambut pirang itu jelas adalah Lia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karmalia : Ramalan Takdir
FantasySemuanya menjadi kacau ketika hari ulang tahun Riana yang ke empat belas. Sakit yang hampir saja merenggut jiwa dan kesadarannya menbuatnya berhalusinasi bahwa dirinya benar benar tak waras saat itu juga. Memangnya siapa yang akan menyangka kalau Ri...