Bab 5 : Zaganos, agen intel

70 11 0
                                    

Lia menangis sesegukkan melihat tubuh Riana yang kian lama kian memanas.

"Tidak, ini takkan berhasil," gumamnya pelan sembari menggenggam kain handuk basah kuat kuat.

Sedari berada di penjara sampai saat ini, Riana tak sadarkan diri. Tubuhnya panas, rasanya seperti menyentuh bara api yang masih menyala merah. Tangan kakinya juga gemetaran. Peluh dingin mengalir dari dahinya, dan seluruh tubuh. Mungkin dengan peluh itu berharap bisa meredakan sedikit demamnya. 

Lia sekali lagi meletakkan handuk dingin ke dahi Riana. Mulutnya kelu saat melihat gadis seusianya tergeletak dan mengerang ke sana kemari karna sakit. Hatinya mencelus saat tangannya tak sengaja mengenai tubuh Riana yang teramat sangat panas.

"Bagimana ini—"

Lia mengusap dahinya yang penuh dengan keringat. Wajahnya memucat memikirkan apa yang akan terjadi jika Riana tak segera sembuh dari demamnya.

Sebenarnya Lia tahu keadaan Riana gawat, sejak dari gua malah. Tapi Lia tak punya pilihan. Ia tak bisa kabur dan keluar dari gua tanpa bantuan orang lain. Walaupun hutan mengelilingi gua, Lia tak takut akannya, dia lebih takut pada manusia beringas yang akan mengejarnya.

Sambil menunggu Riana bangun saat di gua, Lia berharap bantuan yang ia harapkan akan datang. Tapi dia tak tahu kalau bantuan itu akan datang teramat sangat terlambat. Bantuan itu datang setelah Riana pingsan menahan luka cambukan dan dirinya yang menangis ketika ingatan itu datang.

"Dia takkan melewati malam ini jika kau mengobatinya dengan tehnik itu," suara yang berasal dari belakangnya mengageti Lia. Lia menoleh ke arah suara, seorang pemuda berusia delapan belas tahun kini masuk ke dalam netranya.

"Lalu bagaimana?!" bentak Lia marah. Dia sudah terlalu lelah hari ini. Walau kini dia sudah berada di sebuah rumah yang nyaman tanpa ada ancaman bahaya, dirinya tak bisa tenang dan pergi istirahat. Tidak selama Riana masih menggigil dan mengerang kesakitan.

"Bagaimana aku harus menyembuhkannya?!"

Pemuda itu menghela napas, dia terlihat lelah menghadapi amarah Lia.

"Biarkan saja. Dia tak bisa diselamatkan—"

Plaak!!

Sebuah tamparan mengenai pipi pemuda itu. Napas Lia memburu, wajahnya memerah, telapak tangannya terasa panas sekaligus perih.

"Jangan ucapkan itu," geram Lia marah. "Jangan ucapkan kalimat itu lagi!"

Mendapati Lia nampak lebih berang dibandingkan sebelumnya, pemuda itu memilih menutup mulutnya, bungkam tanpa suara. Lia mendecih, memalingkan mukanya kembali ke arah Riana yang kini sedang mengerang kesakitan di kasur nyaman. Sesekali air mata merembes dari matanya yang terpejam rapat. 

"Aku akan menyelamatkannya," tekad Lia yakin. "Bahkan jika harus menggunakan kekuatanku, aku akan tetap menyelamatkannya."

"Tunggu, apa?!" pemuda itu berseru tak terima, tak mengerti apa yang dipikirkan gadis usia empat belas tahun bernama Lia ini.

"Aku akan menyelamatkannya, tidakkah kau tak mengerti akan hal itu?" menjawab seruan tak mengerti itu, Lia menatap pemuda dengan tatapan yakin tak tergoyahkan. Dia mengepalkan tangan.

Karmalia : Ramalan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang