Bab 26 : Dendam abadi yang diwariskan

18 5 0
                                    

Satu malam sebelumnya:

Riana mendapati dirinya membuka kelopak mata di sebuah ruangan lembab. Bau yang familiar menurut Riana, sudah beberapa kali dia menciumnya. Dan bau itu adalah bau penjara bawah tanah.

Dan tak butuh penerangan lebih hingga Riana benar-benar tahu kalau dirinya terkurung di dalam penjara bawah tanah.

Riana mendengus kesal. Ini sama sekali tak lucu. Padahal baru beberapa jam lalu dia merasakan udara kebebasan, tapi entah bagaimana caranya dia kembali terkungkung dibalik jeruji besi itu.

Apakah Iodan yang melakukan ini? Sepertinya tak mungkin. Jadi Fadwa? Itu kemungkinan terbesarnya. Jika dirinya di sini, apakah ada kemungkinan kalau Fadwa menangkap Mia dan Nia?

Dalam hati Riana berharap kedua saudari kembali itu baik-baik saja.

Riana mencoba berdiri dari tidurnya. Tubuhnya terasa sangat lemah, seolah tak pernah makan, atau mungkin lebih tepatnya seolah tak punya semangat kehidupan. Dan matanya bengkak. Padahal Riana tak ingat kalau dia habis menangis. Selain bengkak, matanya juga hanya bisa membuka sedikit, saking malasnya.

Tangannya lemas, dia tak bisa melakukan apapun. Dan kakinya juga sama, dia tak yakin kalau dia bisa bangkit berdiri sekarang.

Tenggorokannya kering, seolah dia memang belum minum untuk waktu yang teramat lama. Dan perutnya juga serasa kosong.

Di tengah kesadarannya yang hilang timbul karna rasa lemas, lapar dan haus yang bercampur aduk, indra pendengaran Riana bisa mendengar suara langkah kaki. Dua orang, suaranya bergema di sepanjang penjara. Kian lama kian mendekat. Dan tak lama kemudian, terdengar pintu sel dibuka dengan bunyi nyaring.

Dua langkah kaki itu berhenti tepat di depan Riana yang kini duduk lemas dan menyandarkan tubuhnya ke tembok penjara. Riana mendongak, menatap entah siapa gerangan yang datang.

Dari bayangan kecilnya, Riana bisa menyimpulkan kalau mereka berdua adalah wanita. Entah karna efek halusinasi atau apa, tapi wajah kedua orang itu terasa kembar di pandangan Riana. Yang membedakan hanyalah seorang membawa nampan makanan, sedangkan seorang lagi datang dengan tangan kosong.

"Ini waktunya makan siang," seorang wanita yang membawa nampan kini berjongkok. Nada bicaranya lembut dan sopan. Sesaat Riana bahkan tak percaya kalau mereka berdua kemungkinan besar adalah sipir penjara. "Makanlah dulu. Kau sudah lama tak makan."

Sekali lagi Riana meragukan penglihatannya. Di depannya, di nampan itu tersaji makanan yang bisa dibilang cukup mewah. Bahkan jika bagi orang biasa sekalipun. Bagaimanapun, itu sama sekali tak tampak seperti hidangan untuk para tahanan.

Tapi entah semenggiurkan apapun hidangannya, entah kenapa Riana tak nafsu makan. Dia bahkan sekarang malas menyegerakan tangannya meski jelas-jelas perutnya berbunyi cukup keras karna kelaparan. Riana mengelus perutnya pelan, seolah menjadi kebiasaannya akhir-akhir ini.

"Dimana dia?"

Tak bisa menyangkal, suara yang keluar dari mulutnya Riana akui terdengar sangat berbeda. Lebih lembut, dan terdengar lebih dewasa.

Kedua wanita itu saling menatap, sebelum akhirnya salah satu di antara mereka menghela napas. Riana memang tak bisa melihat dengan jelas siapa gerangan kedua wanita ini, apalagi dengan penerangan dan kepalanya yang selalu berkunang-kunang. Tapi yang jelas, saat salah satu wanita itu membuka mulutnya, entah kenapa Riana merasa kalau suaranya tak asing di telinga.

Karmalia : Ramalan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang