Keadaan Lia juga tak kalah buruk dari Riana. Tubuhnya babak belur di sana sini. Darah menetes dari ujung bibirnya yang sedikit robek. Pakaiannya compang camping, robek di banyak tempat. Tak lebih baik tubuhnya, memar biru menghiasi setiap jengkal tubuhnya tanpa terlewat satu incipun.
Buuk!!
Pukulan kembali menghantam perutnya, menbuatnya mundur tiga langkah setelah memuntahkan air liur dicampur darah. Lia menyeka ujung bibirnya dengan tangannya yang terkepal, berusaha bertahan selama mungkin.
Tapi belum sempat dirinya memasang kuda kuda yang lebih kokoh, tiba tiba bogem mentah langsung menghantam dagunya.
Buuk!!
Kali ini bukan lagi mundur tiga langkah, Lia malah langsung terkapar di lantai ruang introgasi.
Tubuhnya sudah mencapai ambang batas. Sekuat apa tekad Lia untuk kembali bangkit dan melayangkan satu atau dua serangan balasan, sayangnya itu tak bisa menolong tubuhnya yang kini remuk redam.
"Apa apaan ini?" sebuah suara hinggap di telinganya. Matanya kembali mencoba membuka, menatap sosok pemilik suara itu. Seorang wanita, dengan rambut pirang senada dengan rambut warna Lia dan kain yang menutupi mulutnya. Walau mulutnya tertutupi kain hitam, dia tetap bisa bicara dengan jelas. "Apa hanya ini kekuatanmu?" katanya.
Lia mendecih, benci sekali dirinya melihat wanita itu. Bahkan jika setengah wajahnya tertutupi, entah kenapa Lia bisa membayangkan raut muka seperti apa yang dipasang wanita itu.
"Siapa kalian dan dari pihak mana kalian berada?"
Pertanyaan itu tergolong lembut jika dibandingkan bentakan sipir yang menyiksa Riana. Tapi meski begitu, itu bukan berarti Lia akan luluh dan menjawab pertanyaannya.
"Kenapa aku harus menjawabnya?" cemooh Lia sambil berusaha bangkit berdiri. Tangan dan kakinya yang gemetar nyatanya tak menyurutkan tekadnya. Setelah beberapa menit, akhirnya wajah mereka bisa sejajar. "Asal kau tahu saja, aku takkan menjawabnya."
Buukk!!
Pukulan itu adalah balasan kesombongan Lia terhadap musuhnya. Pukulan itu persis mengenai pipinya, membuat bengkak kembali muncul di pipi kanannya.
"Aku sangat tak suka menyiksa orang lain, jadi aku membebaskanmu dan bertarung denganmu. Oleh karna itu, ketahuilah kedudukanmu, sebelum aku bertindak lebih kejam dibandingkan ini."
Lia akui bahwa wanita dihadapannya itu memang cukup baik hati. Tapi sebaik hati apapun wanita itu, tetap saja dia memukul Lia.
Teringat kembali wanti wanti yang selalu kakaknya katakan. "Jangan pernah tertangkap, atau kau akan disiksa habis habisan. Mereka takkan mengasihanimu. Mereka akan memperlakukanmu lebih buruk dibandingkan binatang ternak." Itulah kata kakaknya.
Lia meringis menahan sakit. Kakaknya salah. Dia pasti belum pernah bertemu wanita ini.
"Katakan padaku jawabannya, setelah itu kau dan juga temanmu akan kulepaskan," janji wanita itu ketika melihat ringisan Lia.
Ya, wanita ini benar benar baik hati–setidaknya jika dibandingkan para algojo penyiksa yang lain–dia membuat Lia bertarung. Jika Lia menang, Lia akan bebas tanpa syarat. Dan jika Lia kalah, Lia harus mengatakan segala jawaban dari pertanyaan wanita itu. Tak ada kerugian yang Lia dapat jikalau dirinya kalah–karna bagaimanapun jika dirinya disiksa tuntutannya akan sama–Sebaliknya, jika dirinya menang maka dirinya akan bebas bersama dengan bebasnya Riana.
Tapi nampaknya Lia terlalu meremehkan musuh. Dirinya tak menyangka kalau aljogo ini akan begitu kuat, hingga tak bisa dikalahkan olehnya yang yakin menguasai beragam tehnik bela diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karmalia : Ramalan Takdir
FantasySemuanya menjadi kacau ketika hari ulang tahun Riana yang ke empat belas. Sakit yang hampir saja merenggut jiwa dan kesadarannya menbuatnya berhalusinasi bahwa dirinya benar benar tak waras saat itu juga. Memangnya siapa yang akan menyangka kalau Ri...