"Paman, ini dokumen yang Paman minta untuk kuselesaikan." Sharley meletakkan dokumen-dokumen yang diberi klip di meja kerja Aldrich. Aldrich mengecek dokumen, tak lama kemudian mengangguk.
"Kau mengerjakannya dengan baik. Sekarang, kerjakan dokumen di pojok sana. Mereka sudah di sana dua hari dan aku tak sempat mengerjakannya."
Sharley terperangah. Tumpukan dokumen mencapai lima sentimeter, ia bisa begadang mengerjakannya. Ia sudah lelah. Berminggu-minggu tenaganya digempur habis-habisan. Besok adalah keberangkatan ke Blackviolet. Yang artinya dia butuh istirahat.
"Keterlaluan. Apa Paman tidak memikirkanku yang susah tidur karena bekerja setiap hari? Besok hari keberangkatan dan Paman memberiku seambrek dokumen lagi!"
Aldrich mendongak. "Lantas kauakan mengadu pada Rezvon?"
"Aku tidak sepengecut itu! Aku cuma mau paman mengerti kalau aku sudah lelah. Aku bukan mesin yang bisa bekerja dua puluh empat jam. Tolong, beri aku waktu istirahat!" balas Sharley kesal.
Aldrich mengerutkan kening. "Kau harus tahu tanggung jawabmu sebagai putri. Selama ini kau hidup enak di dimensi lain tanpa tahu identitasmu yang sebenarnya! Kau harus tahu ... bahwa menjadi putri bukan hanya tentang kekayaan dan kekuasaan. Kau harus bisa mengurus ribuan rakyat Noctis. Anggap saja sebagai persiapan menjadi Putri Mahkota."
Sharley merasakan amarah menggelegak dalam dirinya. Amarah yang sangat meluap-luap, tapi ia berusaha menahannya. Ia tak mau memperkeruh keadaan.
"Hidup enak? Selama ini, paman menganggapku begitu? Paman tidak tahu betapa sakitnya menjadi anak broken home, punya pembenci demikian banyak karena akrab dengan Cleon dan menjadi pacar Asher. Aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Tunggu! Apa Paman begini karena tak suka aku ikut misi?"
Aldrich hanya diam, yang mengonfirmasi jika dugaan Sharley benar. Sharley menyeringai. Sampai kapan Aldrich akan terus begini? Bagaimana ia memperbaiki hubungan ini?
Bukankah beberapa hari yang lalu Al sudah berbuat baik padanya? Dia berpikir pria itu mulai memaafkannya, tapi sepertinya tidak begitu.
Aldrich menghela napas panjang. "Kau terlibat dalam banyak hal. Aku khawatir terjadi sesuatu yang buruk padamu. Kau seperti porselen yang mudah pecah."
"Aku tidak ––" Omongan Sharley terputus. Setelah sekian banyak kejadian mengancam nyawa, Aldrich menganggapnya porselen. Sharley menggigit bibir. Kenapa banyak sekali orang yang menganggapnya begitu? Seolah dia lemah, dia hanya bisa merengek dan meringkuk.
Dia benci. Sangat benci. Itu membuatnya teringat pada Ethaian.
Sharley menatap tajam Aldrich. Tangannya terkepal erat. "Lihat saja. Aku akan kembali dan membuktikan jika aku tidak lemah. Saat itu terjadi, berjanjilah paman akan memaafkanku."
Aldrich tersentak, lantas menyeringai tipis. "Baiklah. Itu persyaratan yang bagus."
Sharley mendengus. Dia pun melengos keluar setelah memberi salam formal. Tanpa menoleh ke belakang lagi, teramat dongkol untuk melakukannya.
🌙🌙🌙
"Kawan-kawan!" Sharley berteriak nyaring menyapa kawan-kawan seperjuangannya. Floretta, Zephran, dan Valerie sudah menunggu di istana Tenebris. Duduk sambil bercanda tawa dan bertukar kabar.
Floretta-lah yang pertama kali memeluk Sharley. Dia tak peduli diejek orang-orang sekitar yang menyaksikan mereka intens. Sharley tertawa, merasa bahagia berkumpul dengan mereka. "Oh Putri Sharley, aku sangat merindukanmu!"
"Apalagi aku. Heh, kau tambah tinggi saja!" balas Sharley. Floretta tersenyum. "Elf selalu bertambah tinggi lebih cepat dibanding kaum lain dalam kurung waktu panjang. Biasanya sih pertumbuhan akan berhenti saat usia seratus lima puluhan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√)
FantasySharley tak pernah berpikir kalau perjuangannya bisa sepanjang ini. Selepas dia menjelajahi waktu dan membuat darah Mezcla di tubuhnya musnah, dia hanya menjadi penyihir. Tapi dia tak memikirkannya, bahkan mengeluh kalau dia tak punya kekuatan seheb...