Huekk!
Sharley memuntahkan seluruh makanannya di wastafel. Asher memijit lehernya supaya memudahkan muntahan, tentu saja dia tak menatap wastafel karena perutnya sudah mulas.
Sharley mendesah. Dia membersihkan mulut, mengalirkan air dari kran. Dia menatap suaminya yang sudah memindahkan tangan. "Sudah?"
"Iya." Sharley berkata lesu. Asher membawanya ke kamar lantas mendudukkannya di sofa. Secangkir teh jahe hangat tersaji di meja rendah, dan pai apel yang tinggal setengah. Sharley melihat Asher memijit bahunya. Ia bisa tenang. Meskipun pusing menyerangnya lagi.
"Padahal kau yang ngidam pai apel, tapi malah memuntahkannya lima menit dua puluh tiga detik kemudian." Asher menghela napas. Sharley mengerutkan alis, bagaimana caranya Asher menghitung waktu dengan begitu tepat? Tetapu itu bukan masalah sekarang.
Dirinya baru hamil satu bulan. Dia mengalami berbagai keluhan yang membuat Asher harus meladeni dengan tabah. Gejala kehamilan pertama Sharley hampir mirip dengan Aledra. Dia selalu muntah setiap hari, tidak nafsu melihat makanan, merasa sangat sensitif, dan lain sebagainya. Sharley iri dengan istri Albarez yang melewati trimester pertama kehamilan dengan anteng dan tak separah dirinya.
Sharley mengusap perut. Meskipun dia cukup menderita, dia senang dengan keberadaan janin-janin ini. Tak pernah sedetik pun dia tak mencintai mereka. Dia selalu senang saat mengusap perutnya, dan tak sabar dengan lahirnya mereka.
Meskipun itu akan lebih menyakitkan karena dia memiliki dua bayi.
Sharley mendongak. Asher selalu sabar menghadapinya. Ia tak pernah mengeluh terang-terangan dan selalu mendampingi Sharley di manapun dan kapanpun. Singkatnya, ia menjadi lebih protektif sejak kehamilan.
Wanita itu menatap jam dinding. Ini sudah jam sepuluh. Asher memiliki kantung mata tipis dan wajahnya tampak lelah. Sharley mengambil tangan suaminya. "Maaf, aku benar-benar tak menyangka akan memuntahkannya."
Meskipun lelah, Asher tetap membawakan pai apel yang didapatkannya susah-susah dari dapur. Dia tersenyum simpul. "Tidak apa-apa." Asher berjongkok di depan sofa, meletakkan kepalanya di pangkuan Sharley. Sharley terkekeh, melihat suaminya bertingkah seperti anak anjing. Mau tak mau dia mengusap rambut Asher yang sangat halus.
"Hei, Sharley. Aku selalu ada di sisimu, jadi carilah aku ketika kau membutuhkanku. Masa-masa kehamilan ini, aku tahu itu susah bagimu." Bibir Asher berkedut. Ia senang memiliki bayi kembar, tapi itu susah bagi istrinya.
Sharley tertawa. "Baiklah."
Asher tersenyum, mendekatkan kepalanya ke perut Sharley. "Sayangku, jangan membuat Mamamu semakin susah, ya?" Dia mencium perut istrinya, dan tetap berada di sana beberapa detik kemudian.
🌙🌙🌙
"Sssttt!" Seorang anak berusia empat tahun memelototi saudara kembarnya yang berbeda gender, yang tak sengaja membuat suara. Anak perempuan yang memiliki rambut cokelat panjang bergegas menutup mulut, menatap kembarannya yang juga memiliki rambut cokelat senada.
Mereka bergerak diam-diam, menuju seorang lelaki yang tertidur di sofa dengan suara dengkuran pelan. Mereka terkikik, mengangkat tangan dan bersiap mengejutkan Papa mereka. Anak perempuan menghitung, dan begitu sampai di hitungan terakhir, mereka berteriak keras.
"Papaaa! Banggunn!"
"Aakhh!" Asher, lelaki itu, tersentak. Tangannya tak sengaja menampar sisi wajah anak laki-lakinya. Anak itu berteriak kesakitan, langsung terjatuh ke karpet beludru.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√)
FantasySharley tak pernah berpikir kalau perjuangannya bisa sepanjang ini. Selepas dia menjelajahi waktu dan membuat darah Mezcla di tubuhnya musnah, dia hanya menjadi penyihir. Tapi dia tak memikirkannya, bahkan mengeluh kalau dia tak punya kekuatan seheb...