XXIII. Siapakah Pengkhianatnya?

372 84 3
                                    

Auman keras itu terdengar hampir di sebagian negeri. Semua orang bertanya-tanya, tapi beberapa yang cepat tanggap, langsung lari terbirit-birit. Tanah seluas tiga ratus hektar amblas di Kerajaan Mane, dan tsunami muntah di tepi barat laut Ocelama.

Nun jauh di sana, di tempat yang tak bisa dijangkau, dua rantai penyegel Luca telah putus. Rantai itu jatuh berdentang, membuat lantai mendesis kepanasan. Lingkaran sihir telah rusak, mereka mengerahkan seluruh tenaga tapi kalah oleh kekuatan lain.

Mata Luca mengerjap-ngerjap. Matanya sewarna lautan, tapi di tengah berwarna sekelam kegelapan yang paling gelap. Kegelapan yang hanya ditemukan di matanya. Kegelapan yang menyimpan kebencian, kemurkaan, balas dendam, ambisi.

Luca mencakar lantai. Kesadarannya belum terkumpul. Sementara kekuatan segel berusaha menarik-nariknya ke alam bawah sadar. Dia terlalu lama tidur, sampai tak kuasa merusak segel itu. Seharusnya itu hal mudah bagi makhluk agung sepertinya.

Dia makhluk paling hebat. Paling ditakuti. Segel ini bukan apa-apa. Luca mengaum lirih, lebih seperti kucing terjepit pintu. Dia mengasihani diri sendiri.

Luca mendongak. Di dalam remang-remang cahaya, dia hanya melihat sesosok yang memakai jubah cokelat panjang. Wajahnya tak terlihat, membuat Luca penasaran siapa yang bisa membangunkan dirinya saat ini.

"Bersabarlah, sedikit lagi. Kauakan terbebas dan menghancurkan pengganggumu."

Luca tak mampu menjawab. Dia jatuh ke kegelapan, segel kali ini menang. Dia tahu apa yang dimaksud sosok tersebut. Entah bagaimana, Luca merasakan seringai dari sosok itu.

🌙🌙🌙

"Astaga, apa tadi itu?" guman Elozeir. Rezvon bangkit dari kursi kerjanya. Dia dengan getir menatap ke tempat pulau Luca. Sekujur badannya seketika lemas.

"Yang Mulia!" Elozeir sigap menopang Rezvon dan mendudukannya kembali. Mereka baru saja membahas tentang kerusakan wilayah, sampai suara auman itu terdengar begitu menggelegar.

"Ya dewa, itu ... aku tak mungkin salah dengar 'kan?"

"Yang Mulia .... "

"Suara itu pasti milik Luca. Gawat, sepertinya segel Luca telah putus."

"Yang benar, Yang Mulia? Itu tidak mungkin." Mau tak mau, badan Eloz ikut gemetar. Rezvon menggeleng, menenggak kopi di meja. Tetapi itu pun tak bisa meredakan gelegak kesetiaan dalam dirinya.

"Hanya empat keluarga kerajaan yang mengetahui tempat Luca berada. Tapi buku Vilita beserta salinannya telah hilang. Kemungkinan orang itu yang memutus segel Luca," ucap Eloz khawatir.

"Tidak. Jika memang benar demikian, seharusnya buku itu dicuri jauh sebelum rapat petinggi Hyacintho dilakukan. Awal mulanya adalah bencana-bencana, artinya ada seseorang yang berusaha mengacau Luca sebelum rapat itu. Dia sangat cerdik."

Rezvon memutar otak. Jika begitu, mungkin ada pengkhianat di empat keluarga. Rezvon menggeram. Dia demikian marah. Lantas siapa? Orang yang berusaha mengkhianati empat keluarga? Untuk apa dia melakukannya?

Brak!

Aldrich masuk dengan tergesa-gesa. Rezvon menegakkan badan, menatap muka pucat adiknya. "Kakak, kau mendengarnya 'kan tadi? Jangan-jangan, itu suara Luca?" Aldrich menumpukan tangan di meja kerja. Rezvon tertegun, adiknya tampak demikian getir. Dia segera mengenyahkan pemikiran itu. Tentu saja ia getir, itu tak perlu ditanyakan.

"Iya, itu suaranya. Lima ratus tahun, sejak disegel, tidak pernah suara itu terdengar. Sekarang, itu telah terjadi. Situasi benar-benar gawat. Kita harus mengecek pulau," balas Rezvon.

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang