Sharley mengerjap-ngerjap, matanya menyesuaikan cahaya hangat yang merangsek masuk. Dia mengerang pelan dan mengedarkan pandang ke sekitar. Itu adalah tempat yang sama di mana dia bertemu dengan Thalia.
Sekejap, Sharley menjadi optimis. "Ma––"
Sebelum dia memanggil Thalia, sesosok pria muncul di depannya. Sharley terkejut, itu ialah pria yang sangat dia kenali. Pria bermata emas dan berambut hitam, dengan tatapan layaknya orang yang lelah hidup. Sarung tangan putihnya terpakai seperti biasa, seolah digunakan untuk tak mengotori tangannya yang baru membunuh seseorang.
"Kau––" Sharley mengepalkan tangan. Dia melambaikan tangan, tapi pedang petir tak muncul seperti yang diharapkannya.
Ah, benar. Ini bukanlah dunia nyata dan Sharley hanya diundang ke sini.
Ethaian tersenyum kosong. Dia masih sama seperti yang terakhir kali diingat Sharley. "Belum lama ini kita bertemu, ya?"
"Kenapa kau muncul?" Sharley menenangkan badannya yang tegang. Di sini Ethaian takkan bisa melukainya. Di satu sisi, dia heran kenapa Ethaian membawanya ke sini. Pasti ada yang mau dibicarakan.
"Apa yang kukatakan di masa lalu, benar-benar terjadi 'kan?" Ethaian bertanya, berjongkok di depan Sharley. Sharley meringsut, dia takkan membiarkan Ethaian menyentuhnya.
"Perkataan yang mana?" Sharley menyahut. Kemudian teringatlah perkataan terakhir Ethaian sebelum musnah menjadi abu. Sharley mencengkeram celananya dengan tegang.
"Ah, kejadian besar yang akan melibatkan diriku. Jadi, yang kau maksud hari itu ialah perang ini?" Sharley tak mengerti kenapa Ethaian dapat melihat masa depan. Namun, dugaan terdekatnya hanyalah satu. Selama ini arwah Ethaian selalu mengelilingi Hyacintho sehingga dapat memprediksi kejadian di masa depan.
Apa yang dilakukan arwah raja tirani itu?
"Benar. Aku mengamati di mana-mana. Aku tak bisa membiarkan Hyacintho jatuh ke tangan Luca." Ethaian menjilat bibir dan mengerutkan kening. Tampak ia tak menyukai Luca.
Sharley menggeleng. Dia takkan tertipu, Ethaian ialah manipulatif handal. Dirinya tak bisa jatuh semudah itu. "Jangan mengada-ngada. Kau mendukungnya 'kan?"
"Ya, itu benar. Tapi ada saat di mana aku tak bisa membiarkannya menguasai Hyacintho. Sejujurnya, aku ingin menguasainya untuk diriku sendiri. Aku tak bisa berbagi dengannya."
"Baj––"
"Sstttt. Tidak baik gadis lugu sepertimu mengumpat seperti itu." Ethaian menyela ucapan Sharley dan menempatkan telunjuknya di bibir gadis itu. Sharley menggeram, menepis tangan dingin Ethaian.
"Katakan apa yang ingin kau bicarakan," tukasnya.
Ethaian tersenyum dingin, matanya melengkung cantik. "Kehilangan akan menjadi kunci kebebasan. Kau mengingat itu?"
Mata Sharley melotot. Tentu saja dia mengingatnya. Itu ialah ucapan seseorang yang muncul di mimpinya. Sharley memilih tak memedulikannya karena berpikir itu tak berguna. Namun, jika itu yang membuat Ethaian datang, itu pasti sangatlah penting.
"Kau sudah merasa kehilangan 'kan?"
Sharley menggigit lidah. Air mata kembali keluar dari pelupuknya. Dia tak mau menangis di depan Ethaian, tapi itu terjadi begitu saja dan dia tak dapat menahannya. Tangan Ethaian menepuk kepala Sharley. Alhasil, gadis itu lebih kencang menangis.
Dia tak peduli Ethaian sekarang menyeringai. Dia hanya ingin mengeluarkan tangisannya.
"Kehilangan itu ialah bayaran untuk kebebasanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√)
FantasySharley tak pernah berpikir kalau perjuangannya bisa sepanjang ini. Selepas dia menjelajahi waktu dan membuat darah Mezcla di tubuhnya musnah, dia hanya menjadi penyihir. Tapi dia tak memikirkannya, bahkan mengeluh kalau dia tak punya kekuatan seheb...