Rezvon berhenti di depan kuda Aldrich, yang berwarna hitam dan sangat berotot. Kuda itu meringkik ganas kepadanya. Rezvon menyeka darah di sudut bibirnya dan menatap Aldrich yang mengangkat dagu.
"Halo, Kak." Aldrich menyapa singkat. Rezvon menggigit bibir, sampai sekarang dia tak bisa meneguhkan hati. Dia memikirkan adiknya di masa lalu, yang tersenyum padanya dan melemparkan candaan ringan. Mata Aldrich yang sekarang benar-benar berbeda dengan yang dulu.
Rezvon hanya melihat ambisi, kedengkian, nafsu di sana. Dia tak menemukan cuilan kebahagiaan, yang bisa menjadi harapan jika masih ada sesuatu dari Aldrich yang tersisa.
Rezvon tak mengenal Aldrich yang sekarang. Dia memegang pedang dengan gemetaran dan serta merta menunjukkan kelemahannya pada lawan. Aldrich tersenyum tipis. Rasanya senang melihat Rezvon menjadi serapuh ini. Dia bisa menghancurkannya dengan mudah.
"Apa yang ingin kau katakan, Kak?"
Rezvon menggigit bibir. Ia sangat payah dan menyedihkan. "Di mana Luca?" Ia menanyakan sesuatu yang sama sekali lain dengan apa yang dia pikirkan. Awalnya, Rezvon ingin membujuk Aldrich. Membawanya kembali, tapi seperti dihantam batu seberat dua ton, Rezvon skeptis Aldrich akan menurut.
Aldrich sudah kelewatan. Rezvon tahu takkan ada yang dapat memaafkan adiknya. Sampai kapanpun. Bahkan jika dunia terbalik sekalipun. Jadi kenapa, dia menaruh harapan pada Aldrich? Kenapa dia begitu bodoh? Kenapa dia berusaha meraih sesuatu yang sudah terlalu jauh?
Rezvon membenci kenyataan ini.
"Yang Mulia Luca takkan muncul di perang hari ini. Dia sedang memulihkan diri."
"Aku tak begitu yakin," balas Rezvon.
Aldrich berdecih dan mengangkat sebelah alis. "Sudah bertanya, tidak percaya pula. Kau harusnya bersyukur karena beliau tidak datang. Pasukanmu akan dihancurkan dalam sekali libas olehnya."
"Omong kosong." Mendadak, muncullah Sharley di samping Aldrich dengan pedang terhunus. Aldrich sigap menangkisnya, dia melihat Sharley berlumuran darah segar dan menatapnya sangat dingin. Sulit dipercaya gadis ini ialah gadis yang dulu tersenyum bingung padanya dan tertawa polos.
Semua itu menghilang dalam sekejap, seolah tak pernah ada sebelumnya. Ia lupa kalau Sharley adalah anak yang dapat menjadi seperti Rezvon. Di luar terlihat hangat, tapi sekali ada yang mengusik mereka ataupun orang-orang mereka, langsung dingin dan tak berbelas kasih.
Bunyi pedang berdentang terdengar keras. "Halo, Tuan Aldrich." Sharley tak menganggap Aldrich sebagai keluarganya lagi. Dia terlalu sakit atas pengkhianatan ini. Namun, dia berusaha menahan diri. Dia tak bisa membunuh Aldrich meskipun ingin, semua itu ada di tangan Rezvon.
Sharley tak bisa menyakiti ayahnya. Jadi, ia takkan membunuh Aldrich. Persoalan ini akan diselesaikan oleh Rezvon dan Aldrich. Merekalah salah dua sentral dari perang ini. Meskipun ia juga salah satu sentral, ia takkan ikut campur dalam masalah pengkhianatan Aldrich.
Sharley melirik Rezvon. Mata mereka bertembung dan sama-sama sayunya. Mereka mengharapkan hal yang sama, tetapi itu sudah terlalu jauh.
Sharley berbalik ke Aldrich. Gadis itu membuka mulutnya. "Kami takkan kalah. Meskipun ada Sike Chaka Paton Luca, kami memiliki empat spirit. Dia –– kalian –– akan kalah."
"Benarkah? Namun Yang Mulia tak takut sama sekali. Kalian memiliki mereka, bukan berarti mereka benar-benar dapat mengalahkan beliau. Bahkan sejak serangan Springflow, beliau tak mengirim pasukan lagi."
Ah, jadi itu ulah Luca? Sudah kuduga. Tapi dia tak takut meskipun kami memiliki empat spirit? Luca tak dapat menyentuh mereka. Tapi tunggu dulu. Membunuh tanpa menyentuh, itukah yang sedang Luca coba lakukan? Meskipun dia tak bisa benar-benar membunuh spirit, tapi dia bisa menekan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√)
FantasySharley tak pernah berpikir kalau perjuangannya bisa sepanjang ini. Selepas dia menjelajahi waktu dan membuat darah Mezcla di tubuhnya musnah, dia hanya menjadi penyihir. Tapi dia tak memikirkannya, bahkan mengeluh kalau dia tak punya kekuatan seheb...