"Sharley, aku mengerti perasaanmu sekarang. Kau ingin membunuhnya 'kan?" Rezvon bertanya pelan. Sharley yang terguncang setelah mendapat berita jika Al adalah pengkhianat, tak dapat menahan anggukannya.
Emosi yang meluap-luap membuatnya ingin menghancurkan istana ini. Sharley punya cukup kekuatan untuk melakukannya. Kepala gadis itu mendidih dan seluruh badannya panas. Rezvon membawa si gadis ke sofa dan berjongkok untuk menyembuhkan buku-buku jarinya yang memutih. Tanpa sadar dia menyakiti diri sendiri.
"Kenapa, Papa? Apakah Papa tak ingin aku membunuhnya?"
Rezvon tersenyum. "Jangan. Tanganmu tidak boleh dikotori oleh nyawa keluargamu sendiri."
Bahu Sharley menurun dan alisnya mengerut. Dia tahu dirinya terdengar kejam, tak seperti remaja berusia tujuh belas tahun pada umumnya. Namun, dia begitu marah sampai ingin menghabisi Aldrich. Sharley tak bisa menerima fakta jika pamannya berkhianat.
Apa karena aku mengenalnya belum lama, ya? Jadi, aku tak begitu menyayanginya? Haahh, aku tak percaya hasrat seperti ini akan muncul. Sharley membatin.
"Apa Papa ... tidak ingin menghabisinya?" Rezvon adalah orang yang tumbuh bersama dengan Al. Sharley saja semarah ini, Rezvon apalagi. Kekecewaan yang lebih besar jelas memenuhi Rezvon, kekecewaan yang sudah cukup untuk membuatnya ingin menghabisi Aldrich.
Tangan Rezvon gemetar, dia ambruk di samping Sharley. Mata ungu itu tak bersemangat lagi. Sharley berusaha menggali emosi-emosi Rezvon, tapi yang ditemukan hanyalah kekosongan tanpa ujung. Mau tak mau Sharley menjadi khawatir.
"Aku tidak bisa melakukannya meskipun aku ingin, Sharley."
"Apa?!" Sharley menjilat bibir. Ia perlahan memahami itu. Ia lupa jika ayahnya adalah sosok yang lemah terhadap keluarga. Irisnya berubah sendu, memikirkan betapa sakitnya Rezvon menahan diri untuk tak membunuh ataupun menyakiti Aldrich.
"Setiap kali aku memikirkannya, maka aku akan mengingat kenanganku bersamanya. Itu terlalu banyak, dan memberatiku. Aku takkan bisa membunuhnya dengan tanganku sendiri, sampai kapanpun. Aku masih berharap dia akan kembali. Aku sangat bodoh, ya?"
"Tidak. Tidak ada yang bisa menyalahkan sifat Papa. Papa dibesarkan di lingkungan yang penuh cinta dan kasih sayang, dan kenangan-kenangan baik berkumpul selama itu."
Masalahnya ialah Rezvon yang terlalu lembut pada keluarganya. Namun, Sharley tak dapat mengatakan itu. Dia menyandarkan badan ke sofa. "Aku paham kenapa Papa sampai begitu. Papa tak perlu memaksakannya."
Rezvon tersenyum. "Iya, kau benar. Namun Sharley, berjanjilah satu hal padaku."
"Apa itu?"
"Jangan membunuh Aldrich."
Sharley menelan ludah. "Baiklah, aku berjanji." Berat baginya untuk berjanji, tapi ia tetap melakukannya.
🌙🌙🌙
Sharley membuka mata. Dia menahan hasrat itu tiap waktu, terutama saat berhadapan dengan Aldrich. Sebagian dirinya tak terima dengan belas kasih Rezvon. Dia menggunakan kekuatan penenang untuk diri sendiri. Berusaha tak mencekik Aldrich.
Kekuatan penyucian memenuhinya dan membuatnya lebih bertenaga. Kekuatan itu asing, tapi tubuhnya cepat beradaptasi. Sharley bertanya-tanya kenapa dia sangat bodoh tidak menyadari kekuatan itu.
Dia memahami satu alasan kenapa dewa tak bisa menyegelnya.
Adalah perbedaan dimensi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√)
FantasySharley tak pernah berpikir kalau perjuangannya bisa sepanjang ini. Selepas dia menjelajahi waktu dan membuat darah Mezcla di tubuhnya musnah, dia hanya menjadi penyihir. Tapi dia tak memikirkannya, bahkan mengeluh kalau dia tak punya kekuatan seheb...