XVIII. Kekuatan Khas Demon

363 86 5
                                    

"Buatlah perjanjian dengan kami!" kata Cleon. Ia kelihatan teguh di balik keterkejutan serigala yang bisa bicara. Namun Fenrik bukanlah Werewolf, dan mungkin saja wujud aslinya bukan serigala.

"Ah, tentu itu tujuan kalian di sini. Betapa bodohnya aku. Nah, berikan aku alasan melakukannya." Fenrik melompat dari sana, kakinya berpijak mantap sementara gema menggelegar. Gema terdengar dari mana-mana setiap suara. Sharley berpikir betapa kosong dan sepinya kastil ini selama ratusan tahun.

Namun, tentu Fenrik bukanlah sosok yang membutuhkan teman. Dia adalah eksistensi abadi yang tak memikirkan besok akan melakukan apa. Hidupnya praktis hitam-putih. Fenrik acuh tak acuh oleh hal itu.

"Sike Chaka Paton Luca telah terusik," ucap Sharley. Seketika yang lain berjengit, beberapa tersedak air liur sendiri. Ini kali mereka mereka tahu nama lengkap Luca. Mereka hanya tahu nama panggilannya dari penjelasan keluarga kerajaan. Kini, mereka merasa sangat risau. Seolah Luca menyaksikan mereka dari belakang dan siap menerkam.

"Kami membutuhkan bantuanmu, wahai spirit agung."

"Sike Chaka terbangun bukan urusanku. Dulu dia membuat kekacauan yang parah."

"Kekacauan? Itu bahkan lebih dari kekacauan!" bentak Floretta berapi-api.

Fenrik menggeram, memperingatkannya untuk diam. Sharley juga geram, tapi berusaha menahannya. "Aku mengerti kau tak tertarik dengan urusan Hyacintho. Sejak dulu, entitasmu dan tiga spirit lain memang ...." Sharley berhenti untuk memikirkan kata berikutnya. ".... tak jelas."

Asher maju. "Tapi kami datang bukan tanpa persiapan."

"Hahahaha, kalian mengetahuinya dengan tepat." Fenrik tertawa mengejek, tawanya cukup menyeramkan. Apalagi bergema, tapi kemudian dia berubah kalem, menggaruk kuping kanan dan menggesekkan moncong di syal bulu. Gesturnya begitu nyaman sampai-sampai Sharley merasa iri. Ia saja sangat tegang.

"Ke mari, ikut aku." Fenrik berlalu pergi, melompat-lompat kecil di tangga. Mereka mengikutinya dengan waspada, Marcell dan Zephran mengeluarkan pisau dari saku mantel.

Lantai dua dipenuhi serigala yang asyik makan. Meja panjang dijejali makanan-makanan enak daging. Dari yang digoreng, sampai dibakar. Aromanya begitu enak dan menggoda. Kursi-kursi diduduki oleh para serigala. Beberapa serigala menggonggong, merebut daging dari serigala lain. Serigala lain menggigit dagingnya amat erat dan melayangkan cakaran ke temannya.

Suasana pun menjadi kisruh. Mereka berebut makanan.

Sampai gonggongan Fenrik terdengar. Mereka langsung kicep, mengenal teramat baik gonggongan khas itu. "Dasar kalian ini! Makanlah dengan sopan santun!"

"Anu, sejak kapan serigala ––bukan Werewolf–– punya sopan santun?" bisik Zephran. Marcell mengangkat bahu, tak paham.

"Lihat ini, para anak buahku yang manis-manis. Kita memiliki tamu. Kalian dilarang menyakiti ataupun mengganggu mereka. Setidaknya, sampai urusannya selesai." Fenrik melompat gagah ke kursi es kebesarannya. Kursi itu berukiran cantik dengan miniatur elang di punggungnya. Dan ada bantal bulu beruang yang membuat empuk. Tak seperti kursi lain yang keras.

Pemandangan itu amat janggal. Serigala-serigala ini bertingkah layaknya manusia.

"Tapi Tuan, mereka kelihatan sedap," seru serigala cokelat gimbal. Valerie hampir berteriak, tapi mulutnya ditutup tangan Blaine. Sharley berusaha menapak tegak sementara batinnya berteriak ketakutan. Serigala-serigala yang bisa bicara adalah hal yang kelewat aneh.

"Benar. Mereka banyak, gemuk-gemuk pula. Pasti enak dibuat sup," balas serigala putih.

"Seenaknya saja kau bilang aku gemuk!" bentak Floretta tak terima. Sharley melotot galak, begitu juga Valerie dan Blaine. Sementara para pria cuma diam melihat amarah para wanita yang selalu sensitif masalah badan. Si serigala menguap tak tertarik, menyantap daging hamnya.

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang