Dia tak menyangka sampai sebesar itu. Dia pikir hanya satu desa yang kena, mengingat Springflow cukup besar untuk ukuran desa, tapi jika empat desa di sebelah juga terkena, itu benar-benar besar. Badainya dulu hanya menghancurkan aula Mavexy, itu skala yang kecil.
Sharley telah menyentuh sesuatu yang seharusnya tak disentuh. Dan alangkah panik dirinya gara-gara itu. Dia menyebabkan kerugian yang besar, dan –– tentu saja –– korban akibat badai. Sekarang, semua orang akan membicarakannya.
"Badai terbesar yang diciptakan penyihir hanya sampai melalap tiga desa. Tapi Anda malah empat. Hebat nian," celutuk Blaine. Sharley melotot, dia tak bangga sama sekali.
"Aku akan menyerahkan setengah hartaku untuk ganti rugi," ucap Sharley yang merasa sangat bersalah.
"Memangnya harta Anda berapa banyak?"
"Aku punya dua gudang harta, perpustakaan pribadi, dan tiga tambang." Sebenarnya tambang itu hasil kerja keras Rezvon dan 'Sharley' palsu, tapi itu 'kan miliknya. Dia takkan miskin meski memberikan setengah harta sekalipun.
"Wah, putri kerajaan memang beda," guman Blaine. Dia hanyalah penyihir yang harus menyambung hidup dengan menjadi prajurit bayaran. Jumlah uang yang dimilikinya jelas hanya kerikil dibanding jumlah uang milik Sharley. Blaine mengangkat bahu, selama dia hidup, untuk apa harus bersusah-payah menumpuk harta. Bisa makan sehari-hari dan sehat saja dia sudah bersyukur.
"Di mana yang lain?" tanya Sharley. Ia mulai merasa baikan, bisa menggerakkan lengan leluasa tanpa takut bakal patah.
"Semua di luar, asyik main di dekat air terjun. Jytia pergi ke tempat Amare, menggoda pria itu lagi mungkin. Sekarang, Anda tak usah ke mana-mana, beristirahatlah di sini dulu," jawab Rose.
Sharley mengerutkan kening. "Tapi Jytia hanya mengizinkanku di sini sampai aku sadar."
Blaine nyengir. Sharley nyaman dengan gadis itu, berbeda dengan Rose. Rosemary begitu anggun dan cukup susah diajak berbicara. Dia seperti burung merpati dalam sangkar. Berbeda dengan Blaine yang seperti elang yang terbang di langit. Dia begitu bebas dan terbuka. Sharley terbiasa dengan lingkar perilaku bangsawan, tapi dia lebih menikmati saat bisa bebas berekspresi dan berperilaku.
"Dia tak ada di sini, jadi itu bukan masalah. Saat dia datang, usahakan Anda sudah pulih."
"Mana bisa aku pulih secepat itu?" Sharley memekik tak terima. "Tapi baiklah. Akan kulakukan. Kalian keluarlah, putri ini butuh waktu sendiri."
Rosemary dan Blaine mengangguk. Mereka menunduk hormat. "Selamat beristirahat, Tuan Putri."
Sharley membuang muka. Dia teringat dengan mimpi, dan segera memikirkannya sejam kemudian. Ia tak mendapat kemungkinan tentang siapa yang ada di dalam mimpi tersebut. Tak sempat juga tidur barang lima menit, sampai Jytia pulang dengan bibir ditarik ke bawah dan muka masam. Dia ditolak lagi, katanya ini sudah yang ke seratus lima puluh kali.
Sharley hanya tersenyum. Dia tak berniat menghibur Jytia meski Jytia tampak menginginkannya.
🌙🌙🌙
Asher membasuh wajahnya yang lengket. Air dingin begitu menyejukkan sampai ia berpikir takkan tidur malam ini. Ia pun duduk di batu besar, menatap air terjun dalam diam. Bulan purnama memantul di permukaan air, dan suara gerojokan terdengar semerdu seruling. Meski dingin, Asher tak memakai mantel ataupun jaket berbulu. Semua itu ditinggal di tas sana.
Asher menatap pantulan diri sendiri, menyadari ada kantung tipis yang membayangi matanya. "Aku tak bisa tidur," gumannya. Setiap hari ia memikirkan Mochhie dan berjalannya misi ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√)
FantasySharley tak pernah berpikir kalau perjuangannya bisa sepanjang ini. Selepas dia menjelajahi waktu dan membuat darah Mezcla di tubuhnya musnah, dia hanya menjadi penyihir. Tapi dia tak memikirkannya, bahkan mengeluh kalau dia tak punya kekuatan seheb...