XLVI. Di mana Luca?

315 72 3
                                    

Ribuan panah menghujani pasukan Luca yang berderap dan sangat bersemangat. Mereka mengangkat perisai saat panah sudah dekat, membuat panah memantul. Tetapi ratusan panah berhasil lolos, menghujam titik-titik lemah dan menumbangkan mereka.

"Lagi!!"

Ribuan panah kembali melesat dengan kecepatan tinggi. Artefak-artefak dilemparkan, segera membentuk barrier berbentuk setengah lingkaran. Semua panah memantul saat bersentuhan dengan barrier. Sekejap kemudian, barrier menghilang.

"Pasukan berpedang! Maju!"

Pasukan berpedang merangsek dan berteriak penuh semangat. Barikade terdepan kerajaan maju, pedang mereka teracung dan berkilauan ditimpa cahaya matahari. Itu adalah pedang yang baru dibuat, menjadikannya begitu tajam dan kuat.

Begitu dua pasukan bertemu, bunyi-bunyi pedang yang berseteru memenuhi udara. Kepul debu berhamburan, tapi tak terlalu tebal sehingga mereka dapat melihat perang tersebut dengan jelas. Bunyi tusukan dan tebasan pedang terdengar tak lama kemudian, menyipratkan darah ke mana-mana. Membasahi rerumputan hijau.

Sharley menatap lurus ke Aldrich. Kebetulan Aldrich juga memandangnya–– atau Rezvon–– karena mereka berada di posisi sejajar. Sharley mengumpat tertahan, dirinya menjadi panas padahal cuaca sedang. Dia mengusap dahi, menyadari buku tangannya terlalu memutih karena terkepal.

Aldrich membuka bibirnya, Sharley pintar membaca gerak bibir dan bahasa isyarat, jadi dia mengerti apa yang dibicarakan Aldrich. Perkataan Aldrich semakin membuatnya panas.

'Bagaimana rasanya dikhianati keluarga sendiri?' Aldrich tersenyum dingin, matanya berbinar penuh ambisi. Sharley membalas. 'Sepertinya aku akan mematahkan lehermu, paman. Ah tidak, kau bukan keluargaku lagi.'

Sayangnya Rezvon tak pintar membaca gerak bibir apalagi bahasa isyarat, jadi dia mengerutkan dahi dalam-dalam melihat anak dan adiknya berkomunikasi. Semua orang juga menyadari percakapan itu, tapi memilih diam karena sama tak pintarnya. Bahkan Asher dan Cleon, kesusahan membaca bibir Aldrich karena tertutupi pertarungan barikade depan. Namun, Aldrich dan Sharley melakukannya seolah itu hal paling termudah di dunia.

Sebenarnya, tak sulit melakukannya. Sharley hanya memfokuskan diri dan mengabaikan suara-suara dari luar. Itu juga berlaku untuk Aldrich.

'Aku juga tidak pernah menganggapmu keluarga.' Aldrich mengangkat alis. Sharley mengumpatinya. Dia tak bisa memaafkan Aldrich bahkan jika Aldrich mencium kakinya. 'Tahtamu sebegitu besar untuk kau harapkan sampai membuang keluargamu sendiri?'

'Terkadang hal-hal besar harus dibuang ketika menginginkan sesuatu yang lebih besar.'

"Hal yang lebih besar? Bajingan itu berbicara omong kosong." Sharley mengusap pedang di pinggangnya.

"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Valerie. Yang lain sama terkejutnya karena Sharley mengumpati Aldrich. Namun, mereka memahami perasaan Sharley. Gadis itu berada di posisi sensitifnya dan mereka melihat urat di lehernya menonjol. Dia seolah akan mengamuk sebentar lagi.

"Sesuatu yang buruk," balas Sharley acuh tak acuh. Dia mengalihkan pandang ke puncak tebing, tempat itu sangat tinggi sehingga apa yang ada di atasnya tampak seperti kerikil. Namun, Sharley menangkap sesuatu dari sana. Dia berkedip, sesuatu seperti kerikil berjejeran itu tetap ada. Dia menangkap seringaian Aldrich juga.

"Cleon, tolong berikan teropongnya." Sharley menunjuk ke tebing. Cleon tak paham, tapi tetap memberikan teropong. Sharley akhirnya dapat melihat sosok-sosok di atas tebing. Itu adalah orang-orang yang tiarap dan memakai pakaian hitam untuk menyamarkan diri. Dinding tebing tersebut memiliki warna abu kehitaman, sehingga orang-orang akan sulit mengetahui ada orang berpakaian hitam di atasnya.

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang