LVIII. Luca dan Dewa

345 81 9
                                    

-Sike Chaka Paton Luca-

Luca bermain-main bersama anak-anak dewa yang masih kecil. Usia mereka belum genap lima tahun dan mereka gemar sekali naik seenaknya ke punggung Luca atau mengganggunya tidur. Luca menghela napas, dia lebih suka menjalankan tugas dewa seperti menyuburkan tanah dibanding menjaga bocah-bocah ini.

Mereka brengsek. Ups, jangan mengadukan itu di depan dewa atau dia akan kena amarah. Sejujurnya, dia tak menyukai anak-anak. Dia yakin dewa mengetahuinya, tapi sengaja melakukan ini untuk membuatnya kesal.

Luca sudah hidup dengan dewa ratusan tahun, dia mengenal makhluk itu lebih dari siapapun. Makhluk menyebalkan yang selalu menggodanya setiap waktu.

"Tuan Luca, lihatlah karangan bunga ini!" Anak dewa yang paling sulung, menunjukan sebuah karangan bunga gardenia padanya. Luca mendesah, telinganya ditarik-tarik oleh anak bungsu dewa. Ia berharap bisa keluar dari situasi ini secepatnya.

"Tuan Luca!" Salah satu pesuruh dewa menghampiri mereka. Ekor Luca terangkat, seolah baru mendapati cahaya ilahi. Ia akan segera tertolong.

"Dewa memanggil Anda." Pesuruh itu membungkuk. Luca tersenyum, bergegas pergi dan diam-diam bersorak bahagia. Ia dengan mengangkat dagu memasuki kastil yang lebih besar dibanding kastil manapun. Kastil itu dilapisi emas dan perak di mana-mana. Ujungnya sampai menyentuh langit. Gerbang yang sangat tinggi dan besar membentengi bagian terluarnya. Dihiasi patung-patung yang membuat pose gagah.

Besar kastil itu mencapai sepuluh lapangan disatukan. Ada tiga sayap, membentang di utara, timur, dan selatan. Bagian utama, di barat, adalah tempat dewa tinggal. Tiga sayapnya diperuntukkan ketiga anak dewa, tak jarang untuk rapat atau hal-hal lain. Tamannya berjumlah puluhan dan memiliki tema masing-masing. Luca sangat menyukai taman bertema malam bulan purnama di bagian utara dan membenci taman bertema unicorn di selatan.

Saat dirinya berjalan, semua makhluk menunduk. Luca mengabaikannya, semata-mata karena ia sudah terbiasa dengan perlakuan itu. Semua memandangnya hormat karena merupakan tangan kanan dewa. Ia bahkan mendapat lantai tiga sebagai kawasan pribadi di sayap utama.

Ruangan singgasana terletak jauh di tengah sayap utama. Yang mana itu hampir satu kilometer. Namun, Luca sudah terbiasa berjalan sejauh ini. Sebenarnya ia bisa berteleportasi, tapi ia malas melakukannya. Lagipula, Luca ingin membuat dewa menunggu.

Luca berdehem keras. Begitu pintu berderit terbuka, tampaklah dewa yang selonjoran di sofa bawah singgasana. Itulah dewa kehidupan, sosok menyebalkan yang membuat Luca hampir stres mengurusnya. Namun, harimau itu memahami batasannya dengan sangat baik.

Lelaki berambut perak itu mendongak. Segelas anggur dimainkannya. Dia tersenyum menyilaukan dan bergegas duduk. Meja di depannya penuh dengan buah-buahan dan camilan lain. Itu terlalu banyak untuk dimakan satu orang, tapi siapa yang peduli. Dia adalah dewa. Makhluk tertinggi yang mengatur kehidupan di bumi.

Luca berlari-lari kecil, lantas memberi salam. Berbeda dengan yang lain –– yang harus berlutut sampai mencium lantai –– Luca hanya memberikan salam seadanya. Tindakan sekecil itu saja sudah menunjukkan seberapa tinggi derajatnya.

"Apa yang akan kau perintahkan?"

Dewa nyengir. Mata emas permatanya sangat jernih. Itu adalah mata yang tak dimiliki siapapun, bahkan tiga anak dewa. Luca sering berpikir apakah mata itu sengaja dewa buat untuk dirinya sendiri. Dewa menuangkan anggur ke cangkir lain lantas memberikannya ke Luca.

"Bisakah kau berbasa-basi sedikit?"

"Tidak ada alasan untukku berbasa-basi denganmu, brengsek." Luca menyahut singkat, meneguk anggurnya dan melirik sudut bibir dewa yang bergetar.

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang