XL. Nona yang Dicuci Otak

345 78 9
                                    

Luca memandang para pengikutnya setengah minat. Dia sudah mengumpulkan banyak sekali orang berkat Aldrich. Dia tak pernah terjun menculik orang-orang itu, Aldrichlah yang melakukannya. Dia akan menunggu di tempat ini, lantas memesmeris mereka sehingga berada di pihaknya.

Rencana Luca, dia akan membunuh mereka begitu kemenangan didapatkan. Mereka hanyalah sesuatu yang dimanfaatkan keberadaannya. Begitu dia sudah mendapatkan apa yang dibutuhkan, dia akan membunuh mereka.

Habis manis, sepah dibuang. Begitulah, tapi Luca tak peduli.

"Yang Mulia Makhluk Kegelapan yang Agung. Kami akan selalu berada di pihak Anda," kata seorang penyihir hitam. Ia menyerahkan diri sendiri ke Luca. Luca cukup terkejut menyadari banyak orang yang mendukungnya. Dia sejujurnya tak berharap pada para bangsawan karena hanya berharap pada penyihir hitam yang jumlahnya sangat sedikit sejak dia ditidurkan. Ternyata banyak bangsawan yang diam-diam memihaknya.

Lagi-lagi, mereka semua didapat berkat Aldrich.

"Hmmm." Luca membalas acuh tak acuh. Dia mendengar seseorang mendekat, dan menemukan Aldrich datang dengan membawa piring besar makanan. Luca mencium aroma sedap daging. Itu ternyata steak. Selain itu, ada sepiring buah-buahan segar.

Aldrich meletakkannya di pinggir kasur Luca sementara dia berlutut di lantai. Luca menarik piringnya, lantas menyantap makanan tanpa ba-bi-bu. Ia tak pernah melihat makanan ini dulu, tapi begitu merasakannya untuk pertama kali, ia langsung jatuh cinta. Steak bahkan lebih enak dibanding dendeng.

Ia sangat suka makan, tapi dari sekian banyak makanan yang dirasakannya setelah bangkit, Luca sangat menyukai steak. Ia berencana akan makan ini setiap hari dan membuat badannya lebih gagah. Toh, ia takkan gemuk.

Iris Luca memperhatikan Aldrich. Ia hanya mempercayai lelaki itu. Tapi saat ini, ia juga memikirkan apakah akan membuang Aldrich nanti. Aldrich adalah kartu yang sangat berguna. Luca membutuhkannya untuk mengurus Hyacintho saat kemenangan nanti.

Luca skeptis. Di satu sisi, ia juga memikirkan sosok itu.

"Aldrich, bagaimana dengan persiapan?" tanya Luca. Lidahnya dimanjakan oleh steak yang sedap, tapi dia berusaha menjaga ekornya tak mengibas-ngibas girang. Itu akan tampak konyol.

"Semuanya telah siap, Yang Mulia. Kita punya banyak orang berkekuatan tinggi, monster, dan hewan-hewan lain." Aldrich menjawab sambil menyisir rambutnya yang berantakan. Ia bekerja sepanjang hari mengumpulkan pasukan dan melayani Luca sebaik mungkin.

"Berapa jumlahnya?"

"50.000, Yang Mulia. Pihak lawan mungkin akan mengerahkan lebih banyak, tapi bisa juga lebih sedikit. Mereka memiliki spirit yang menjadi kartu AS."

Aldrich getir. Luca tak bisa menyentuh spirit. Itu akan menjadi kelemahan mereka. Kemungkinan besarnya pihak kerajaan akan mengeluarkan kartu AS itu di awal perang, dan mengakhirinya. Namun, Luca bukannya sibuk memikirkan kematian karena spirit, dia asyik meningkatkan kekuatan dan makan steak.

Aldrich berpikir kalau spirit bukanlah sesuatu yang perlu Luca khawatirkan. Pasti ada alasan kenapa harimau itu masih tenang.

"Yah, mereka akan mengeluarkannya kapanpun. Tapi tenanglah, kita takkan kalah semudah itu."

"Kenapa, Yang Mulia? Padahal spirit adalah eksistensi yang tak bisa Anda sentuh, tapi Anda sangat santai menyikapinya." Seorang penyihir hitam bersuara. Luca melotot, benci perkatannya dipotong.

Ia menjentikkan cakar, seketika kabut hitam mencekik penyihir itu. Si penyihir meronta-ronta dan berteriak kesakitan. Lehernya dicekik teramat keras sampai dia khawatir kepalanya akan melayang. Luca menyeringai. "Aku benci saat ada yang memotong ucapanku. Kau harus memahami itu."

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang