Wira kembali ke rumahnya. Bimbel itu akan selesai dalam 1 jam 30 menit. Artinya, setelah ia mengantar Zain jam 3 sore tadi, ia harus kembali menjemput anaknya jam setengah 5.
Saat yang bersamaan setelah ia sampai di rumahnya, handphone-nya berbunyi. Itu adalah Rahmita, ibunya.
"Halo Ma," sahut Wira mengangkat panggilan itu.
"Udah gimana? Zain jadi masuk bimbelnya?" tanya Rahmita.
"Iya Ma, ini aku baru saja antar Zain ke bimbelnya, nanti setengah lima aku jemput lagi," jelas Wira.
Terdengar di balik panggilan itu, Rahmita menghela napas. Itu bukan kali pertama yang Wira dengar dan ia pun sudah hapal apa yang akan ibunya katakan selanjutnya.
"Kamu butuh istri, Sayang. Kamu masih muda, nggak mungkin juga selamanya kamu bisa ngurus Zain. Ini kamu nggak kerja?" tanya Rahmita pula.
Wira duduk dan menyandarkan punggungnya di sofa. Di ruang tengah itu, sambil menempelkan handphone di telinganya dan mendengar ucapan ibunya, ia melihat bingkai foto di atas lemari di sebelah tv yang menunjukkan dirinya dan almarhumah istrinya.
"Mah, aku belum bisa. Mencari ibu yang baik untuk Zain itu nggak mudah. Ini aku sengaja kerja setengah hari supaya bisa ngantar Zain dan menjemputnya langsung," jelas Wira.
"Memang nggak mudah, Mama tahu Wira. Tapi masalahnya bukan hanya di mudah atau tidaknya, tapi di hati kamu. Mama tahu kamu sangat mencintai Nailah, semua juga mencintai Nailah dan kamu nggak bisa menggantikannya. Tapi kasihan Zain. Kamu nggak mau dia tinggal sama Mama, kamu juga nggak mau dia tinggal sama Neneknya dari Nailah, kamu mau urus Zain sendiri, apa kamu bisa Wir? Sampai kapan? Lihat kan? Ini saja pekerjaanmu harus terganggu demi, Zain. Kamu bisa antarjemputkan dia dengan taksi, supir pribadi-"
"Nggak, Mah. Aku mau urusan Zain tetap harus aku yang langsung mengurusnya. Aku nggak bisa lepaskan Zain ke siapapun seakan anakku itu terlantar karena kesibukanku," potong Wira.
"Nyatanya kamu memang sibuk, Wira. Kamu terlalu memaksakan dirimu. Dan Zain, dia tetap butuh sosok Ibu, Nak." Rahmita mengakhiri ucapannya.
"Yaudah Mah, aku istirahat sebentar, aku akan coba atur jadwalku untuk Zain."
"Yaudah, kalau butuh bantuan Mama atau apapun kamu bilang Mama," ucap Rahmita.
"Ya Ma, Assalamualaikum," putus Wira.
"Waalaikumsalam," sahut Rahmita.
Panggilan itu berakhir.
Wira menghela napas. Ia menaruh gawainya di atas meja, lalu ia menyingsing lengan kemejanya dan mengambil posisi berbaring di sofa yang terlalu pendek itu untuk dirinya yang jenjang.
***
Sudah setengah 5 sore. Seluruh murid bimbingan Kirana, sudah ia pastikan dijemput oleh orangtua atau keluarganya masing-masing, selain satu anak yaitu Zain. Ia masih terlihat duduk di bagian depan gedung itu.
Kirana melangkah mendekati anak yang duduk di kursi itu. Lalu ia melempar pandangannya ke pelataran gedung bimbel. Langit juga terlihat mulai gelap.
"Zain, Zain belum dijemput?" tanya Kirana.
Zain menatap Kirana yang mengambil posisi duduk di sebelahnya.
"Ayah Zain belum datang, Miss."
"Ohh, yaudah kita tunggu ya?" ucap Kirana.
Zain mengangguk.
Kirana tidak berlebihan. Memang di bimbel tersebut, terkhusus yang masih SD seluruh tentor akan bersikap demikian pada murid yang berada di bawah tanggung jawab mereka. Kenyamanan, pelayanan, keramahan, fasilitas dan tentunya kualitas pengajar sudah tidak diragukan lagi. Itulah mengapa tidak mudah bagi orang-orang bisa lolos dan diterima menjadi tentor di bimbel tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER 40 DAYS
RomanceKirana Syahla hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Ia sudah melangkah maju namun benang kepahitan masih mengikat kakinya dan menjerat langkahnya. Hal itu yang membuatnya selama ini takut membuka hati. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang anak b...