Kesempatan

996 128 8
                                    

"Oma, Miss Kirana mana?" tanya Zain pada Rahmita.

Rahmita tersenyum, mengusap kepala cucunya itu lalu menjawab pertanyaannya. "Miss Kirana baru saja pulang diantar sama Ayah kamu, besok Miss Kirana bilang akan datang lagi," jelasnya.

Zain terdiam. Setidaknya ia merasa tenang dan lega bahwa orang yang ia rindukan itu sudah datang menemuinya dan akan kembali besok.

***

"Kita makan dulu Bu Kirana?" tawar Wira saat ia membuka pintu mobilnya untuk Kirana. Ia tahu sejak tadi Kirana belum makan.

Kirana pun menganguk. Lalu ia pun masuk ke dalam mobil Wira.

Sepanjang perjalanan tidak ada yang membuka suara, keduanya kembali hening. Sampai Wira menepikan mobilnya di sebuah area parkir cafe and resto.

Keduanya masih hening, turun dari mobil bersamaan dan melangkah bersama memasuki resto itu.

"Silakan Bu Kirana," ucap Wira menarik kursi meja yang akan mereka tempati, untuk Kirana.

"Terima kasih Pak," ucap Kirana canggung.

Setelah memilih menu yang akan mengisi perut mereka, keduanya kembali hening. Entah siapa yang harus memulai.

Mereka duduk berhadapan dengan dua pasang mata yang tidak berani saling menatap. Wira sendiri bingung dan segan harus membuka perbincangan itu seperti apa. Belum lagi rasa bersalah yang menurutnya pasti selama ini sudah membuat Kirana tidak nyaman.

"Ahm Bu Kirana, saya terlebih dulu minta maaf, karena mungkin selama Zain mengenal Bu Kirana, Bu Kirana banyak terganggu. Dan saya sebagai Ayah Zain juga sudah banyak merepotkan Bu Kirana. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Untuk hari ini, saya sangat berterima kasih pada Bu Kirana yang mau menjenguk Zain, saya tidak tahu harus membalas kebaikan Ibu dengan apa, saya sangat berterima kasih," ucap Wira panjang lebar.

Khas akan Wira yang lebih dewas, suara jelas meski ia tengah jantungan dan dipenuhi rasa segan. Ia bisa mengontrol perasaannya itu, berusaha menjaga situasi agar Kirana tidak merasa risih padanya. Kerendahan hatinya pun ia tunjukkan dengan terus meminta maaf pada Kirana.

"Pak Wira, saya yang seharusnya meminta maaf. Saya tidak sadar kalau anak yang dekat dengan saya itu membutuhkan sosok seorang Ibu, saya lupa kalau apa yang saya lakukan bisa saja membuat anak itu berharap, di sini saya yang jahat, Pak. Setelah dia dekat dengan saya, saya berusaha menghindar, pergi menjauh," jelas Kirana.

"Bu, harusnya Bu Kirana tidak perlu melakukan hal itu. Kalaupun harus menjauh, saya yang harus bertanggungjawab menjaga Zain dan memberikan pemahanan padanya, bukan justru Bu Kirana meninggalkan pekerjaan Ibu," ucap Wira serius.

Kirana terdiam.

"Dan soal ucapan saya malam itu..." Wira menjeda kalimatnya. Ia memilih kalimat yang lebih pantas untuk ia meminta maaf atas ucapannya itu. "Saya minta maaf pada Bu Kirana. Saya tahu mungkin tidak hanya menghindar pada Zain, tapi Bu Kirana sudah terganggu dengan ucapan saya malam itu. Seharusnya saya sadar diri, tidak pantas duda beranak satu seperti saya mengucapkan hal konyol seperti itu," ucap Wira mencoba tersenyum ringan.

Kirana menggeleng. Ia menghela napas. "Justru saya yang tidak pantas untuk mendapat kesempatan itu Pak Wira," ucapnya. Kali ini menatap mantap ke kedua mata lawan biacaranya itu. "Saya tidak pantas menjadi Ibu Zain dan walau Pak Wira duda, Pak Wira tidak baik jika menikahi saya," jelasnya.

Tentu jawaban merendah dari Kirana itu membuat Wira bingung. Kenapa ia bisa merendah seperti itu? Sudah jelas-jelas dialah yang tidak tahu diri karena berani ingin mendekati seorang gadis di mana posisinya dia adalah seorang duda beranak satu.

AFTER 40 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang