Aku Benci Kamu, Kirana!

806 78 5
                                    




Lingga mengumpulkan bukti-bukti. Di dalam laptopnya pun ia masih menyimpan sesuatu di dalam folder yang ia beri kata sandi pengaman. Semua masih lengkap. Foto-foto itu, keterangan dari buku itu, semua masih ada. Sangat sangat cukup untuk ia jadikan bukti untuk merusak hubungan Wira dan Kirana yang tidak dia sukai.

Bersikeras dengan tekadnya, Lingga tetap tidak mengubah pendirian. Kekesalannya karena tidak bisa mendapatkan Kirana kembali, membuatnya nekat dan harus merusak rumah tangga Wira dan Kirana. Kalau dia tidak mendapatkan Kirana maka Wira pun tidak.

Keesokan harinya, masih di dalam proyek yang sama, Lingga tanpa buang waktu langsung menemui Wira usai makan siang.

Wira menatap laki-laki yang berdiri tegap di hadapannya di ruangannya.

"Saya ingin mengatakan sesuatu," ucap Lingga.

Wira menatapnya datar. "Apa?" tanyanya singkat.

Lingga belum menjawab.

"Kalau yang kamu maksud berbicara berbicara tentang proyek, silakan duduk." Wira menegaskan dan tidak ingin membuang waktu.

Lingga meneguk ludahnya. Meski ia tidak ingin menceritakan proyek mereka, ia tetap memilih duduk di sana, di hadapan Wira.

"Jadi, bagaimana kandungan Kirana?" tanya Lingga.

Seketika Wira menegakkan dadanya mendengar pertanyaan Lingga.

"Apa maksudmu mempertanyakan hal yang bukan urusanmu?!" kecamnya.

Lingga bersikap santai. Ia tersenyum tipis. "Tentu saja urusanku, oh jadi Kirana belum bilang semua sama kamu ya?" tanya Lingga.

"Omong kosong apa lagi yang ingin kau katakan tentang istriku?" tanya Wira geram. "Hentikan omong kosongmu dan bersikaplah layaknya seorang rekan kerja sama dan jangan banyak bicara di luar kepentingan itu. Lagi pula apapun yang kau katakan tidak akan merubah apapun antara aku dan istriku!" gumam Wira.

"Bukan sekedar omong kosong, tapi aku masih menyimpan semua buktinya," lanjut Lingga, membuat Wira semakin bertanya-tanya. Apa maksud laki-laki di hadapannya itu.

Lingga membungkukkan diri, mencondongkan wajahnya ke arah Wira. Kemudian ia berbisik. "Kenapa kamu begitu yakin kalau Kirana hamil anakmu?" tanyanya.

Mata Wira menyala, tangannya geram dan ingin langsung melayangkannya ke wajah Lingga. Namun, ia masih bisa mengantisipasi amarahnya itu. Ia menghela napas. "Tinggalkan ruanganku!" tandas Wira yang menganggap Lingga hanya akan mengatakan omong kosong.

Lingga menggeleng-geleng. "Sampai aku mengatakan yang sebenarnya, baru aku bisa keluar dari ruangan ini," jawabnya bersikeras.

Tangan Wira membulat sempurna di atas meja. Pandangannya pun tajam pada Lingga.

"Kirana hamil anakku! Kamu nggak tahu kan, di pertemuan kami beberapa bulan yang lalu, kami melakukan apa saja? Kirana nggak sebaik apa yang kamu lihat. Kami sudah pernah melakukan semuanya, dan sangat mudah bagiku mengajak dan merayu Kirana yang memang sudah lama tidak bertemu denganku. Apa kau tidak curiga? Setelah pertemuan kami, barulah Kirana hamil," bisik Lingga.

"Diam! Dan hentikan omong kosongmu!" gumam Wira. Ia sudah bertekad untuk mundur dari proyek itu dan tidak ingin berburusan lagi dengan Lingga.

Lingga terkekeh pelan. Ia menghela napas. "Bahkan Kirana juga sudah pernah hamil anakku, jadi tidak sulit bagiku untuk bisa menghamilinya lagi. Ah, Kirana ternyata semunafik ini sekarang," keluh Lingga.

Wira berdiri dari posisi duduknya ddan menjinjing kerah kemeja Lingga. "Apapun yang kau katakan, hentikan, dan keluar dari ruanganku! Proyek ini berakhir! Aku akan mengundurkan diri! Karena aku tidak ingin mendengar kalimat sampah dari mulutmu itu. Dan kau perlu dengar! Apa kau pikir aku percaya dengan semua yang kau katakan itu? Tidak sama sekali!" pungkas Wira.

AFTER 40 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang