Wira dan Zain sudah sampai di rumah. Saat di jalan hujan perlahan mereda, tidak sederas sewaktu mereka meninggalkan tempat bimbel.
"Bukannya harusnya tentor menghubungi orangtua murid bimbel ya kalau ada apa-apa? Kenapa dia tidak?" batin Wira, berjalan mengambil handphone-nya di atas meja.
"Zain, langsung mandi ya, kamu mau makan malam pakai apa?" tanya Wira pada Zain.
"Apa saja Yah," jawab Zain, menghilang ke dalam kamar.
Wira melihat layar handphone-nya. Ia akhirnya tahu kalau ternyata ia sudah dihubungi beberapa kali oleh nomor yang tidak dia kenal dan juga ada chat masuk yang memberitahu kalau dia adalah Miss Kirana, tentor Zain, dan menginformasikan kalau kelas bimbel sudah selesai, sedangkan Zain belum dijemput.
Usai membaca chat itu, jari Wira menyentuh layar hanphone-nya tepat di bagian profil yang menunjukkan foto pemilik nomor itu. Tentu ia tahu itu adalah tentor anaknya yang ia lihat tadi. Foto itu sederhana, hanya seorang wanita berhijab yang senyum dengan wajah menyamping. Tidak begitu jelas namun karena sudah melihatnya langsung, Wira bisa tahu kalau itu tentor yang tadi bersama Zain.
'Kenapa aku jadi lihat fotonya,' batin Wira, langsung mengembalikan layar handphone-nya itu lalu menggeleng.
***
"Zain, kenapa tadi kamu minum susu dan makan roti di tempat bimbel, kamu lapar?" tanya Wira pada anaknya saat mereka sudah berada di atas tempat tidur malam itu. Ya, semenjak Nailah berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa, Wira memilih untuk tidur bersama anaknya.
"Miss Kirana nawarin aku Pah," jawab Zain.
Wira terdiam. Maksud dia bukan pertanyaan seperti itu melainkan ingin menanyai anaknya kenapa bisa seakrab itu pada orang yang baru dia kenal, biasanya juga tidak secepat itu untuk Zain dekat dengan orang lain, bahkan walau itu gurunya di sekolah.
"Maksud Ayah itu, Zain kan baru kenal sama Miss-nya? Biasanya Zain nggak langsung dekat sama orang lain kan?" tanya Wira. Meski anaknya itu masih duduk di kelas 1 SD, ia memang sudah membiasakan anaknya itu untuk selalu berdiskusi dengannya. Itulah caranya merawat dan mendidik Zain agar terbuka padanya. Bahkan walau itu hanya sebuah pikiran random yang ada di kepala anak-anak.
Zain terdiam. Ia menatap langit-langit kamar lalu menoleh menatap ayahnya. "Miss Kirana itu baik, dia semangat dan suka senyum, nggak kayak guru-guru Zain di sekolah yang kadang serem," jelasnya.
Wira mengangguk-angguk. Jawaban anaknya itu masuk akal. Karena haus, Wira beranjak dari tempat tidur itu untuk duduk. Ia meraih gelas di atas nakas yang berisi air minum.
"Tadi Zain tanya Miss apa sudah punya anak, Miss bilang Miss belum menikah, terus Zain tanya sama Miss apa mau jadi Mamaku," lanjut Zain.
"Uhuuk! Uhuk! Uhuk!" Wira yang baru saja meneguk air langsung dibuat tersedak oleh Zain. Hampir air itu keluar dari hidungnya. Ia langsung menoleh menatap anaknya itu sembari mengontrol batuknya.
"Zain, kenapa bilang gitu? Itu nggak sopan Zain," tegur Wira.
"Maaf Yah," jawab Zain.
Wira terdiam. Ia memijit keningnya dan sekilas bayangan tentor anaknya itu melintas di pikirannya. 'Apa karena Zain makanya tadi wanita itu memandangku sedikit aneh,' batin Wira.
"Kenapa Zain bilang gitu ke orang yang baru Zain kenal?" tanya Wira lagi.
"Miss Kirana baik," jawab Zain dengan penilaiannya yang jujur sebagai anak-anak yang masih polos.
Seketika Wira mengingat ucapan ibunya yang mengatakan bahwa Zain tetap butuh sosok seorang ibu. Ditambah mendiang istrinya juga mengatakan untuk mencari ibu yang baik untuk Zain. Wira pun menghela napas dan kembali mengambil posisi tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER 40 DAYS
RomanceKirana Syahla hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Ia sudah melangkah maju namun benang kepahitan masih mengikat kakinya dan menjerat langkahnya. Hal itu yang membuatnya selama ini takut membuka hati. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang anak b...